Terhitung sudah sembilan tahun tim riset UGM yang tergabung dalam Word Mosquito Program (WMP) Yogyakarta mengembangkan teknologi wolbachia untuk menekan penyebaran penyakit demam berdarah. Penelitian yang dimulai dari tahun 2011 sebenarnya sudah membuahkan hasil. Setidaknya daerah yang menjadi lokasi riset penyebaran nyamuk berwolbachia di Daerah Istimewa Yogyakarta mampu menurunkan jumlah tingkat insidensi kasus demam berdarah. Namun begitu, penyebaran nyamuk wolbachia akan dihentikan apabila populasinya sudah mencapai sekitar 60 persen. Oleh karena itu, penyebaran nyamuk yang mengandung wolbachia akan terus dilakukan untuk mendapatkan hasil teknologi yang diharapkan memberikan manfaat bagi masyarakat.
Demikian yang mengemuka dalam webinar Festival Inovasi Wolbachia: Inovasi untuk Kemanusiaan yang berlangsung pada hari Rabu (12/8). Seminar virtual yang diselenggarakan WMP Yogyakarta ini menghadirkan dua orang anggota penelitinya yakni Dr. Warsito Tantowijoyo dan Eggi Arguni, Ph.D.
Dr. Warsito Tantowijoyo mengatakan nyamuk aedes aegypti yang dikenal sebagai vektor pembawa virus dengue apabila di dalam tubuhnya mengandung bakteri wobcahia maka tidak akan mampu menularkan virus dengue ke manusia. Sebab, wolbachia akan menahan replikasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk. “Memang tidak nampak ada perubahan pada nyamuk, namun virus dengue tidak bisa berkembang karena wolbachia memblokade proses replikasi,” kata pakar entomolog ini.
Tidak hanya menahan laju replikasi, bahkan dengan adanya wolbachia dalam tubuh nyamuk akan menyebabkan jumlah virus dengue pun menjadi sedikit. “Potensinya untuk menulari dengue jadi sangat rendah,” paparnya.
Warsito menuturkan penelitian yang dilakukan sejak 2011 yang dimulai dari dusun Kronggahan Sleman ini dilanjutkan di beberapa kecamatan di Kota Yogyakarta dan telah menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Meski awalnya pihaknya kesulitan dalam menyosialisasikan program ini ke masyarakat karena dianggap menyebarkan penyakit demam berdarah dengan melepas nyamuk di sekitar rumah mereka. “Bukan sesuatu yang mudah, bahkan dianggap kontradiktif, di satu sisi selama ini ada program pengendalian nyamuk dan kita malah menyebarkan,” katanya.
Menurutnya, di awal riset ini mereka banyak melakukan pekerjaan di laboratorium dengan mengembangkan populasi nyamuk yang mengandung wolbachia. Selanjutnya populasi nyamuk berwolbachia disebarkan di setiap rumah penduduk. Meski populasinya belum mampu memengaruhi total nyamuk yang ada, namun ia berkeyakinan jumlah nyamuk wolbachia baik jantan dan betina akan terus bertambah karena akan berkembang biak terus di alam liar. “Kita akan hentikan penyebarannya jika keturunan wolbachia sudah mencapai 60 persen dari total populasi nyamuk di suatu tempat,” katanya.
Eggi Arguni, Ph.D., selaku anggota tim peneliti WMP mengatakan pada tahap awal pelaksanaan penelitain ini pihaknya banyak berdialog dengan masyarakat agar mereka bisa diajak kerja sama dalam pengembangan teknologi wolbachia ini. “Kita lebih banyak mendorong komunikasi dengan warga,” ujarnya.
Penerapan teknologi wolbachia pada nyamuk menurut Eggi tak ubahnya meningkatkan imunitas nyamuk sendiri agar bisa terlindungi dari infeksi virus dengue. “Ini mirip vaksinasi agar nyamuk punya imunitas dari virus,” katanya.
Menurutnya, nyamuk yang yang mengandung wolbachia akan mengalami modifikasi RNA sehingga virus dengue tidak bisa melakukan replikasi di dalam sel tubuh nyamuk.”Nyamuk yang tidak punya wolbachia, replikasi virus dengue sangat tinggi dibanding nyamuk yang ada wolbachianya,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson