Dosen sekaligus peneliti Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM, Dr. med.vet. drh. Penny Humaidah Hamid, M.Biotech., berhasil mengembangkan kit untuk mendeteksi mutasi Aedes aegypti, khususnya yang berhubungan erat dengan resistensi terhadap permethrin.
“Formulasi kit dengan reaksi yang disesuaikan dan menghasilkan reaksi positif mampu memberikan indikasi nyamuk di suatu wilayah resisten terhadap senyawa golongan permethrin,” jelasnya saat dihubungi Jum’at (14/8).
Inovasi tersebut dikembangkan untuk mengurai persoalan adanya resistensi nyamuk Aedes aegypti yang merupakan vektor pembawa virus dengue penyebab demam berdarah. Dia menyebutkan upaya pengendalian nyamuk Aedes aegypti dengan menggunakan bahan kimia pada habitatnya baik stadium larva dan dewasa tidak memberikan dampak signifikan karena kasus outbreak Dengue selalu terjadi setiap tahun. Bahkan banyak dilaporkan adanya kekebalan nyamuk terhadap berbagai insektisida yang sering digunakan, misalnya golongan pyrethroid.
“Faktor resistensi nyamuk terhadap insektisida tersebut menjadi sangat krusial karena hampir semua strategi pengendalian vektor Dengue menggunakan bahan aktif tersebut,”tuturnya.
Sementara itu, infeksi virus Dengue dengan cepat dalam satu dekade terakhir. Penularan penyakit yang banyak dijumpai di negara-negara wilayah tropis dan subtropis seperti Asia Tenggara dengan cepat beredar ke China Selatan, negara-negara Samudera Pasifik, Amerika bahkan saat ini telah mengancam Eropa. Dalam kurun 50 tahun, infeksi Dengue yang ditransmisikan oleh gigitan nyamuk Aedes aegypti ini telah menyebar ke banyak negara dengan peningkatan kasus hingga 2,5 miliar korban di negara endemik. Sementara tingkat infeksi yang terjadi sekitar 70% atau setara 1,8 milyar penduduk di Asia Tenggara dan daerah Pasifik Barat.
Berawal dari kondisi itu, Penny dan tim melakukan penelitian dan berinovasi mengembangkan kit untuk mendeteksi mutasi Aedes aegypti yang berasosiasi erat dengan resistensi terhadap permethrin di Indonesia. Kit yang dikembangkan bersifat siap pakai tersusun dari komposisi primer spesifik, bahan reaksi real-time PCR, probe berlabel fluorophore, DNA kontrol positif dan DNA kontrol negatif.
Formulasi kit praktis yang dikembangkan sejak tahun 2016 ini telah diuji efektivitasnya dalam mendeteksi mutasi Aedes aegypti yang resisten terhadap permethrin dari daerah Bali, Jakarta, Makasar dan Banjarmasin. Hasil reaksi dapat mengindikasikan adanya resistensi dalam waktu kurang dari 24 jam.
“Efektivitasnya 99 persen dan hasil bisa dilihat dalam waktu kurang lebih sehari proses sejak isolasi DNA nyamuk,” ungkapnya.
Keakuratan dalam melakukan metode deteksi dan analisis hasil yang dapat diamati dengan cepat menjadi latar belakang yang kuat untuk memilih pengembangan metode tersebut dalam deteksi resistensi vektor Dengue terhadap insektisida di Indonesia. Penny menyampaikan kit dengan formulasi primer dan probe berlabel ini, bisa digunakan oleh lembaga surveillance, penentu kebijakan, serta petugas kesehatan yang menentukan ketepatan aplikasi rotasi insektisida dalam pemberantasan nyamuk Aedes aegypti. Dengan begitu, kit tersebut diharapkan kedepan bisa membantu upaya pengendalian berbagai penyakit yang diperantarai nyamuk Aedes aegypti misalnya Dengue, Zika, West nile dan Chikungunya.
Penulis: Ika