Hak asasi manusia yang dikembangkan di Indonesia harus mencerminkan seluruh unsur hakikat manusia secara seimbang. Perlindungan hak asasi manusia hendaklah mencakup unsur jiwa dan raga secara seimbang. Begitu pula, perlindungan hak asasi manusia untuk kepentingan individu dan kepentingan sosial haruslah seimbang. Jangan sampai konsep HAM dimaknai secara ekstrem individualistik atau sebaliknya terlalu sosialistis.
Hal ini dikemukakan oleh Dr. Ahmad Zubaidi, M.Si. pada Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ke-53 Fakultas Filsafat di Ruang Sidang Persatuan Lt.3 Gedung Notonegoro Fakultas Filsafat UGM, Selasa (18/8).
Dosen Filsafat Barat itu menyampaikan pidato ilmiah dengan judul “Relevansi Filsafat Politik John Locke dengan Hak Asasi Manusia di Indonesia”.
Zubaidi pertama-tama menyebut bahwa John Locke merupakan salah seorang filsuf yang memberikan fondasi bagi demokrasi dan hak asasi manusia. “Menurut Lockce, negara dengan konstitusinya diciptakan untuk melindungi hak-hak rakyatnya, yakni hak hidup, hak kebebasan, dan hak milik. Hak-hak inilah yang melandasi hak asasi manusia sekarang ini,” ujarnya.
Walaupun demikian, Zubaidi menyebut setidaknya terdapat empat kelemahan dalam pemikirian Locke tentang negara dan hak itu. Hal tersebut adalah terlalu bercorak individualistik, sekuler, materialistik, dan berpihak pada golongan elite.
Bahkan, menurut Zubaidi, pemikiran tersebut, utamanya tentang hak asasi manusia, sempat menjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI karena dianggap merupakan ide dan gagasan pemikir barat yang beraliran liberalisme dan individualisme. Namun, akhirnya tetap dimasukkan dengan pertimbangan bahwa hak-hak rakyat di dalam undang-undang tetap diperlukan agar Indonesia tidak menjadi negara kekuasaan.
Terakhir, Zubaidi menyampaikan bahwa bangsa Indonesia dapat mengambil ide universal dari Locke tanpa harus mengikuti liberalisme yang individualistik. Ketika nilai-nilai hak asasi manusia dan demokrasi diadopsi ke dalam konstitusi Indonesia, dalam pelaksanaannya tidak boleh terjebak ke dalam ideologi asalnya.
“Kedaulatan rakyat khas Barat berdasar pada kebebasan individu absolut atau berdasar pada asas perseorangan. Sedangkan kedaulatan rakyat Indonesia berdasar pada rasa kebersamaan, laksana suatu keluarga besar, yang mengemban asas mutualism, collectivism atau ukhuwah. Dengan rasa kebersamaan ini, bangsa Indonesia hidup dalam asas kekeluargaan atau brotherhood. Oleh karena itu, penerapan hak asasi manusia dan demokrasi harus hati-hati agar terhindar dari pola pikir Barat yang individualistis,” pungkasnya.
Penulis: Hakam