PIKA UGM kembali menggelar bincang-bincang Sinergi UGM & KAGAMA untuk seri ke-3 pada Minggu (23/8) siang. Tema yang diangkat kali ini adalah “Membangun Komunitas yang Tangguh pada Era Adaptasi Kebiasaan Baru”.
Dr. Pujo Semedi, H.Y., M.A., yang hadir sebagai pembicara kunci menyatakan bahwa ketangguhan sebuah komunitas atau unit masyarakat tidaklah turun dari langit. Hal itu merupakan hasil sejarah panjang dari konstruksi relasi manusia dengan lingkungannya serta manusia dengan manusia lainnya.
“Rumah tangga tangguh adalah rumah tangga yang ketika mengalami pageblug, atau tekanan sosial-ekonomi atau bencana, tidak lantas macet. Walaupun hal itu menyebabkan pengurangan pemasukan dan konsumsi, mereka masih bisa bertahan dan memiliki daya untuk pulih kembali,” terang Dosen Antropologi UGM ini.
Pujo kemudian mencotohkan salah satu bentuk ketangguhan dari penelitiannya terdahulu di Petungkriyono, Pekalongan. Ketika pertama kali datang ke sana pada 1984, ia menemukan bahwa para penduduk mayoritas bekerja di bidang pertanian. Kemudian kala itu juga sedang mengalami kesusahan pangan sehingga banyak penduduk yang memanen padi sebelum waktunya karena kehabisan bahan pangan. Mereka juga memanfaatkan tanaman-tanaman lain seperti tales, gembili, dan ganyong sebagai makanan darurat.
Pujo juga menyoroti bahwa penduduk seusianya kala itu punya banyak anak tiri. Lebih tepatnya, ia menyebut suatu hal yang normal untuk menikah lebih dari satu kali di sana. Pada dekade itu, ia menjelaskan tingkat survival rumah tangga mencapai 30 persen dari 100 pernikahan, sepertiganya mengalami perceraian. Menurutnya, seperti itulah gambaran ketahanan rumah tangga petani di Petungkriyono kala itu.
Pujo menjelaskan hal tersebut mulai meningkat ketika masyarakat mulai mengadopsi pemeliharaan ternak sapi. Hal itu sebagai respons peningkatan daya beli dan konsumsi masyarakat sejak awal 1980-an. Pada saat yang sama, ia menyebut para petani juga mulai mengadopsi bibit unggul yang hasilnya melimpah. Selain itu, pengaspalana jalan dari Doro ke Petungkriyono juga menjadi salah satu faktor peningkat karena membuka akses bagi masyarakat untuk ke kota sehingga dapat bekerja di sektor jasa dan industri.
“Ketika kembali pada 2000-an, pola ekonomi rumah tanggah Pentungkriyono telah berubah. Ekonomi yang semula ditopang sumber tunggal berupa budi daya tanaman pangan dan sayur, kini menjadi eknomi cagak telu (tiga tiang). Ketiganya adalah budi daya tanaman pangan, pemeliharaan sapi, serta kerja di sektor industri dan jasa,” terangnya.
Pujo menyebut pola ekonomi tersebut berhasil mengubah wajah desa dari yang awalnya cenderung tertinggal menjadi makmur. Warga desa kini tinggal di rumah tembok dengan lantai keramik bersih, atap seng, mempunyai televisi, rice cooker, gawai, sepeda motor, serta tiap rumah memiliki kamar mandi dan wc sendiri.
Selain itu, berdasarkan data tahun 2014, angka perceraian di Petungkriyono menjadi lebih rendah dibanding 40 tahun lalu. Hal itu tepatnya dari 129 pernikahan, terdapat 24 perceraian, jadi angkanya berkisar 18,6 persen. Hal ini menandakan tingkat survival rumah tangganya lebih tinggi sekarang.
Pujo menjelaskan ketangguhan sosial ekonomi di Petung tidak hanya dibentuh oleh relasi ekologi dan ekonomi semata, melainkan juga relasi politik-ekonomi. Hal itu berupa konsep dan ikhtiar sosial guna menentukan siapa bisa memiliki hak apa terhadap siapa dan sumberdaya apa, bagaimana caranya, berapa biayanya, serta bagaimana praksisnya. Konsep tersebut adalah brayan dan sakpada-pada.
“Brayan adalah konsep yang mana setiap warga punya hak sosial untuk menikmati apa yang bisa dinikmati oleh warga lain. Penerapannya adalah dengan nggaduh sapi atau sistem bagi hasil merawat sapi antar tetangga. Sementara, sakpada-pada adalah pandangan terhadap kedudukan sosial dan politik yang dinilai sederajat antar sesama warga. Jika ada perbedaan posisi itu hanya sementara atau tidak permanen. Hal ini terjadi dalam pilihan lurah,” terangnya.
Kedua konsep tersebut berfungsi mencegah akumulasi kekusaan politik-ekonomi di satu warga dan menjadikan warga lain kehilangan akses terhadap faktor produksi dan arena berkata-kata (menentukan apa yang perlu atau tidak serta baik atau tidak bagi kehidupan bersama). Dengan demikian, hal itu dapat membangun ketahan sosial ekonomi mereka.
Lebih lanjut, Pujo menyatakan bahwa dalam kondisi pandemi sekarang ini. Ia sempat menanyakan kondis kepada warga di Petungkriyono, ternyata mereka sempat mengalami kesulitan. Hal itu karena memang mereka tidak bisa bekerja sementara waktu. Namun, setelah lebaran mereka kembali bekerja dan kondisi kembali normal.
Oleh karena itu, Pujo menyatakan bahwa pelajaran dari Petungkriyono tersebut dapat diterapkan daerah lain pula untuk meningkatkan ketahanan sosial ekonomi. “Atmosfer serta kemampuan warga dalam mencegah akumulasi kekuasaan tadi patut dipertahankan dan dicontoh. Konsep brayan sakpada-pada itu merupakan ungkapan yang sederhana dari sila kelima Pancasila kita tentang keadilan sosial. Dua pelajaran itu mungkin bisa membangun ketahanan sosial ekonomi wong cilik, baik dalam kondisi normal maupun pandemi seperti sekarang,” pesannya.
Pemaparan Pujo itu dibenarkan oleh Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah. Dalam mengatasi pandemi ini di Jawa Tengah, dirinya juga menemui banyak ide-ide lokal ketika melakukan survei ke daerah-daerah. Akhirnya, ia menyebut pihaknya juga kemudian memunculkan ide dengan nuansa lokal, yakni Jogo Tonggo.
“Melalui Jogo Tonggo, kami menemukan titik antara pengambilan kebijakan yang top down dan bottom up dengan bantuan dari tokoh-tokoh masyarakat setempat. Hal itu karena jika diperintah susah maka biar antar masyarakat yang saling mengingatkan sendiri. Meski tidak di semua daerah berjalan lancar, namun tetap kami dorong agar bangkit,” terang Ketum PP KAGAMA ini.
Terakhir, Ganjar menyatakan berdasarkan pengalamannya, jika sesuatu tidak bisa kita kendalikan dengan seragam maka sebenarnya kreasi dan inovasi berbasis lokalitaslah yang menjadi penting. Hal itu, menurutnya, temasuk inovasi dari kawan-kawan KAGAMA, seperti canthelan dan sonjo. Ide-ide semacam itulah yang menurutnya harus kita kuatkan.
“Pandemi ini belum akan berhenti di sini, bahkan bukan tidak mungkin muncul lagi. Namun, pandemi menjad pengalaman berharga bagi kita semua. Hal itu karena pandemi kini menjadi tempat riset besar-besar dan juga tempat bagi berbagai pihak untuk menata ulang besar-besaran,” pungkasnya.
Penulis: Hakam