Yogya, KU
Syammahfuz Chazali, mahasiswa jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian UGM berhasil menyulap kotoran sapi yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan nama ‘tlethong’ ini sebagai bahan campuran pembuatan keramik yang jauh lebih baik dibanding dengan bahan campuran yang digunakan selama ini.
“Ada sekitar 5,9 juta ton kotoran sapi per tahun di Indonesia yang belum dimanfaatkan padahal jauh lebih baik sebagai campuran di banding pasir karena mengandung isolate 9,6% hinga mempunyai daya ikat yang jauh lebih kuat, dalam pembuatan keramik,†kata Syammahfuz yang pada 28 Oktober lalu mendapat juara I Lomba Bisnis Plan Pemuda Tingkat Nasional yang diselenggaakan Kementrian Pemuda dan Olahraga.
Syammahfuz menuturkan, ide pertama untuk melakukan penelitian terhadap tlethong ini muncul pada sektiar September 2006 lalu. Entah kenapa, tiba-tiba dia berfikir tentang kotoran sapi untuk dijadikan bahan campuran bahan keramik. “Saat itu saya sedang merenung di kamar mandi ketika tiba-tiba saya berfikir apa bisa kotoran sapi bisa digunakan untuk membuat keramik,†katanya.
Ide itu terus mengganggu pikiran mahasiswa kelahiran Medan 5 November 1984 ini. Berbagai informasi pun dia kumpulkan dari teman-temannya tentang kemungkinan pengolahan kotoran sapi ini. Pada Oktober 2006, atau satu bulan setelah penemuan ide, Syammahfuz dan empat temannya yang lain yakni Fatmawati, Agus Dwinugroho keduanya dari jurusan Soial Ekonomi Pertanian UGM, dan Wusana Bayu Pamungkas dan Irawan Nurcahyo dari Fakultas Peternakan membentuk tim yang dinamakan Faerumnesia yang berarti kotoran dari lambung sapi Indonesia.
Tim ini akhirnya ngebut membuat proposal penelitian yang diajukan dalam Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) 2006. Namun kala itu proposalnya tidak lolos denga alasan unik karena judulnya hanya ‘Kotoran Sapi’ “Tim yuri menilai judulnya terkesan jorok hingga kita tidak lolos,’’ katanya.
Namun Syammahfuz ini tidak putus asa mengajukan proposalnya ke berbagai kejuaraan hingga pada April 2007 proposalnya disetujui untuk mendapat biaya penelitian Rp3,5 juta dari DUE-Like BATCH IV UGM. Dan terakhir dia meraih juara I pada Lomba Bisnis Plan Pemuda Tingkat Nasional yang diselenggaakan kementrian pemuda dan olahraga dengan judul Alternative Pemanfaatan Kompos dari Industri Petrnakan Sapi Sebagai Bahan Campuran Aneka Kerajinan Gerabah.
Menurutnya, penggunakan kotoran sapi untuk campuran bahan keramik ini dilakukan dengan terlebih dahulu mengolah kotoran sapi agar tidak berbahu dan tidak menjadikan gatal. Syammahfuz dan teman-temanya juga melakukan uji coba dengan Purwanto, salah satu perajin gerabah di daerah Kasongan, Bantul, DIY untuk membuat keramik dengan campuran kotoran sapi. Hasilnya cukup mengejutkan, keramik dengan campuran kotoran ini jauh lebih ringan dan kuat. Saat dibakar 90% tidak pecah seperti jika campuran seperti biasa. Selain itu hasilnya juga jauh lebih cemerlang disbanding dengan bahan biasa.
“Biasanya perajin membuat keramik dengan campuran tanah hitam, tanah kuning dan pasir. Tetapi dengan kotoran sapi cukup dicampur dengan tanah kuning dengan perbandingan 1:1. Hasilnya lebih ringan hingga 2 kg jika disbanding dengan bahan yang biasa digunakan,†katanya.
Beberapa tawaran pun akhirnya muncul. Salah satunya dari Brunai yang meminta bisa membeli kotoran sapi yang diolah ini sebanyak 60 ton per hari yang akan digunakan untuk bahan membuat semacam batu bata. Jumlah ini jelas sangat berat karena sampai saat ini Syammahfuz dan timnya baru bisa memproduksi 6 ton perhari saja.
“Selain itu Brunai juga menawari untuk mematenkan hasil penelian ini. Sebenarnya saya sudah mengajukan paten melalui UGM tetapi sampai saat ini tidak direspon. Kalau tidak dihargai di dalam negeri dipatenkan oleh negara lain ya apa boleh buat,†katanya.
Potensi ekonomi dari kotoran sapi ini cukup tinggi. Karena berdasarkan data yang ada di Indonesia ada sekitar 5,9 juta ton kotoran sapi kering pertahun yang kebanyakan hanya dibuang tanpa dimanfaatkan. Harga yang ditawarkan Syammahfuz dan timnya juga cukup murah yakni hanya Rp1.000 perkilogram. Harga ini jauh lebih murah di banding jika menggunakan pasir. Bagi kotoran sapi nilainya meningkat tajam karena biasanya hanya dijual Rp250 per kilonya.
Atas penelitiannya ini, Syammahfuz pada 2-9 Desember mendapat undangan ke Cina untuk mempresentasikan penelitiannya ini. Selain itu rencananya tahun depan dia juga akan ke Australia untuk hal yang sama. Nah, masih jijik dengan kotoran sapi ? (Humas UGM)