Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X menegaskan untuk bisa keluar dari krisis berpekepanjangan saat ini bangsa Indonesia harus kembali pada trisakti jiwa proklamasi. Trisakti itu adalah berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan.
Hal tersebut ditegaskan Sultan, yang juga raja Kraton Yogyakarta saat acara penerimaan anugrah Hamengkubuwono IX yang diselenggarakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, di Pagelaran Kraton Yogyakarta, Selasa (19/12) malam.
“Memang untuk bisa bangkit dan keluar dari situasi krisis, menjadi penting kita mengingat kembali dan menghayati tujuan perjalanan bangsa yang dirumuskan oleh founding father, Bung Karno,†kata Sultan.
Sultan menambahkan dalam trisakti ini dirumuskan atas dasar kesadaran bahwa Indonesia bukan semata-mata sebuah entitas geografis, bukan insiden sejarah,dan bukan pula suatu imagined community. Tetapi Indonesia merupakan kesadaran berbangsa.
Kesadaran semacam itu, lanjut Sultan, sangat relevan dengan kondisi bangsa yang terpuruk saat ini. Tiga hal, yakni kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan kepribadian budaya, adalah hal yang sudah mulai menipis saat ini.
“Trisakti kiranya merupakan langkah penting dan mendasar untuk dapat bangkit dari keterpurukan saat ini, dan untuk segera untuk memantapkan langkah-langkah maju ke depan menuju tujuan tataran Indonesia baru yang lebih baik,†katanya.
Untuk kembali ke trilogi ini, Sultan menegaskan perlunya peran semua pihak, termasuk perguruan tinggi di Indonesia. UGM, lanjut Sultan, diharapkan bisa menjadi institusi yang berperan penting dalam memulihkan kesadaran bangsa.
“Saat ini bangsa Indonesia tengah menunggu mahakarya UGM untuk membangkitkan harapan, menumbuhkan kepercayaan diri dan membawa kembali bangsa menjadi bangsa Indonesia yang besar, bermartabat serta berdaulat secara politik, ekonomi, dan budaya,†tegasnya.
Sementara itu, Prof dr Sangkot Marzuki MSc PhD, salah satu penerima HB IX Award dalam orasinya mengungkapkan, Indonesia harus bisa mengembangkan pengobatan dengan model ethinc-related medicine atau pemberian obat dengan memperhatikan faktor etnis. Hal ini didasarkan pada kenyataan, karena banyaknya keanekaragaman genetik manusia Indonesia.
Dalam orasi yang berjudul Menanggapi Keanekaragaman Genetik dalam Membangun Indonesia Sehat, dirinya mengakui, bahwa tidak bisa dipungkiri Indonesia memiliki keanekaragaman genetik. Hal ini akan sangat berpengaruh pada sistem pengobatan yang harus diberikan.
“Keanekaragaman genetik bukan hanya penting tetapi juga mutlak diperhatikan dalam praktek kedokteran dan penentuan kebijakan kesehatan,†katanya.
Sangkot mencontohkan kasus penyakit thalassemia, penyakit bawaan yang paling penting di dunia terlebih di Asia Tenggara, yang disebabkan oleh kegagalan sel darah merah membuat hemoglobin. Di Yogyakarta saja, lanjutnya, penyakit ini menjadi penting karena berdasarkan penelitian sedikitnya 5% dari penduduk Yogyakarta adalah pembawa sifat penyakit ini.
“Satu dari 400 perkawinan di Yogyakarta adalah perkawinan beresiko tinggi dari segi thalassemia. Tetapi, di Manado atau sekitar danau Toba, penyakit ini bukan hal yang penting karena individu yang berlatar belakang etnik Minahasa dan Batak hampir tidak pernah ditemukan sebagai pembawa sifat penyakit ini,†tambahnya.
Terlebih lagi, saat ini muncul dugaan bahwa penyakit infeksi diduga dipengaruhi oleh faktor genentik. Bahkan tidak menutup kemungkinan penularan Avian Influensa yang marak akhir-akhir ini sangat dipengaruhi oleh faktor genetik. Hanya saja itu, masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
“Mengapa pekerja-pekerja yang mempunyai kontak tinggi dengan unggas tidak terdengar sampai sekarang mendapat AI? Apa ini karena peningkatan imun mereka selama bertahun-tahun atau karena faktor genetik. Banyak pertanyaan yang muncul yang harus dijawab melalui penelitian,†kata pakar genetic, seorang peneliti di Lembaga Eijkman, lembaga yang pernah menjadi pusat penelitian kedokteran tropis.
Sebelumnya, Rektor UGM berkesempatan menyampaikan cinderamata kepada dua penerima Hamengkubuwono IX Award, masing-masing Prof dr Sangkot Marzuki MSc PhD dan Kanjeng Pangeran Haryo Notoprodjo. Disamping itu, diperdengarkan pula gending “Ketawang Cakrawala Lendro Pathet Sanga†karya KPH Haryo Notoprodjo (Humas UGM).