Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D., mengatakan pemerintah telah mendorong percepatan penanganan pandemi Covid-19 di tanah air sejak lima bulan lalu lewat pengembangan produk obat dan alat kesehatan. Pengembangan obat dan alat kesehatan tersebut melibatkan berbagai perguruan tinggi, lembaga pemerintah, komunitas hingga industri. Menurutnya, pengembangan tersebut diharapkan menjadi salah satu upaya pemerintah untuk menanggulangi pandemi Covid-19.
Ia memberikan apresiasi kepada peneliti UGM yang turut serta mengembangkan beberapa alat kesehatan seperti alat deteksi covid lewat hembusan napas atau GeNose, alat ventilator hingga alat rapid test berbasis antibodi.
Secara khusus ia menyinggung soal deteksi covid dari hembusan nafas ini menurutnya merupakan hasil inovasi yang cukup bagus dan diharapkan nantinya bisa menggantikan peran uji PCR. “Semoga bisa mengganti PCR, di dunia ini ada tiga negara yang sudah mengembangankan yakni Amerika, Israel dan Indonesia,” kata Ali Ghufron dalam webinar Pameran Inovasi Kesehatan FKKMK UGM, Kamis (17/9).
Sehubungan dengan pengembangan vaksin merah putih, ia mengatakan UGM dan banyak perguruan tinggi lain juga ikut terlibat dikarenakan pengembangan vaksin yang bahan bakunya berasal dari virus yang sudah ada di Indonesia ini diharapkan bisa mendorong kemandirian bangsa dalam produksi vaksin. “Kita ingin kekebalan populasi terbangun secara terukur dan sistematis sehingga kita sendiri yang harus kembangkan,” katanya.
Ia memperkirakan apabila setiap orang nantinya mendapat suntikan dua kali dosis vaksin maka butuh setidaknya 350 juta vaksin yang diperlukan. “Jika harganya rata-rata Rp200 ribu maka diperlukan Rp70 triliun untuk biaya vaksin,”katanya.
Sementara Prof. dr. Triwibowo , Ph.D., Sp.MK., anggota tim pengembangan inovasi rapid test berbasis antibodi dari FKKMK UGM, mengatakan alat diagnostik cepat yang dikembangkan tim mereka merupakan hasil kolaborasi dengan peneliti UGM dengan Universitas Airlangga. “Alat rapid test untuk diagnosis non pcr berbasis antibodi sehingga bisa dilakukan lebih cepat di lapangan, memberikan advokasi ke pemangku kepentingan, bahkan bisa melakukan prevalensi,” katanya.
Meski sudah mulai diproduksi dan diuji di beberapa tempat tapi menurutnya proses hilirisasinya ke masyrakat ternyata tidak mudah karena terkendala persoalan regulasi dan administrasi. “Meski sudah ada relaksasi kebijakan, tapi implementasi di lapangan ternyata belum banyak berubah,” imbuhnya
Sedangkan peneliti Ventilator UGM, dr. Bowo Adiyanto, M.Sc., mengatakan pihaknya berhasil mengembangakan ventilator untuk pasien Covid-19 yang kritis. Ventilator dengan merk V-01 ICU Ventilator ini menurutnya selain membantu pasien agar tetap bisa bernafas, namun juga daya kerjanya menyesuaikan kemampuan nafas si pasien. “Ventillator ini bisa memberikan bantuan nafas dan sistem kerjanya bisa menyesuaikan nafas pasien,”katanya.
Penulis : Gusti Grehenson