Pada tanggal 27 Desember 1949, merupakan momentum pengakuan kedaulatan atas Republik Indonesia Serikat oleh Kerajaan Belanda. Perdamaian ini dicapai setelah melalui Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Salah satu keputusan KMB menyatakan pemerintah RIS menghormati dan melindungi hak-hak usaha Belanda. Berbagai perusahaan Belanda yang sudah beroperasi semenjak masa kolonial, perkebunan dan perusahaan-perusahaan lain diserahkan kembali kepada pemiliknya, yaitu orang-orang Belanda.
Pemerintah Indonesia tentu menerima keputusan ini dengan berat hati. Karena, beberapa perkebunan dan perusahaan tersebut, telah lama beroperasi di Indonesia.
“Soekarno tidak suka dengan keadaan ini. Baginya hal ini sama saja dengan kolonialisme. Secara politik Indonesia memang sudah berdaulat, namun secara ekonomi masih menjadi sapi perahan Belanda,†ujar Dr Pujo Semedi dalam diskusi bulanan bertema “Drinking with the Devilâ€, di PSPK UGM, Kamis, (4/1).
Di tahun 1957, kata Pujo Semedi, Soekarno menasionalisasi perusahaan asing. Para pemilik dan manajernya diusir pulang, dan perusahaan diambil alih pemerintah Indonesia. Sebagian dari perusahaan jatuh ke pihak TNI AD, sebagaian lagi dikelola Departemen Pertanian sebagai perusahaan perkebunan negara.
“Sama seperti yang dialami penjajah Jepang. Walau telah berhasil mengambil alih, pemerintah Indonesia tidak memiliki tenaga dengan keahlian memadai, seperti menjadi sinder dan administratur perkebunan, apalagi untuk direktur perusahaan perkebunan,†tambah Pujo Semedi.
Menurut dia, jabatan-jabatan tersebut diisi perwira Angkatan Darat dan orang-orang kebun yang ditunjuk oleh Angkatan Darat. Alih-alih menjadi sumber penghasilan negara, perkebunan di masa ini menjadi sapi perah perwira Angkatan Darat dan pejabat tinggi pemerintah.
“Selain itu, nasionalisasi telah membuat Indonesia kehilangan pasar ekspor di Eropa Barat. Untuk itu, produk perkebunan diarahkan ke pasar Eropa Timur yang dibayar antara lain dengan senjata, kapal selam, roket, pesawat tempur, meriam dan senapan guna persiapan merebut Irian Barat dan menganyang Malaysia,†tutur staf pengajar FIB UGM, yang juga menjelaskan, bila secara internal kondisi perkebunan terus memburuk.
Lebih lanjut, Pujo Semedi menjelaskan, melemahnya kinerja Jolotigo dan perkebunan lain di Indonesia saat ini tidak terlepas dari kebijakan nasionalisasi di tahun 1957. Secara politik ekonomi kebijakan tersebut berpengaruh terhadap kondisi perkebunan di Indonesia hingga sekarang.
“Sejak saat itu, perkebunan di Indonesia tidak lagi bagian dari sistim bisnis Belanda yang telah terintegrasi dengan kokoh. Di pasar dunia yang makin kompetitif sekarang ini, dengan munculnya produsen-produsen baru, perkebunan Indonesia hanya menjadi pemain lepas yang tidak mendapat perlindungan siapapun. Sebagai pemiliki perusahaan, pemerintah Indonesia dalam catatan sejarah bisa tegas, bahkan bengis terhadap rakyatnya sendiri, namun lemah tak berdaya di arena pasar dunia serta tidak mampu melindungi kepentingan usaha perkebunannya,†tandas Pujo Semedi. (Humas UGM)