Sejumlah anggota guru besar perguruan tinggi dari seluruh Indonesia mengapresiasi dan menyambut baik respons pemerintah dan DPR yang telah mengeluarkan keputusan untuk mencabut seluruh ketentuan pasal yang berkaitan dengan sektor pendidikan dalam RUU Cipta Kerja. Pasalnya, rancangan klaster pendidikan dalam regulasi tersebut sangat kontraproduktif dan merugikan perkembangan serta kemajuan dunia pendidikan di Indonesia. “Pemerintah dan DPR pada akhirnya masih mau mendengar berbagai aspirasi, kritik, dan masukan dari berbagai pihak terutama dari akademisi,”kata Ketua Dewan Guru Besar UGM, Prof. Koentjoro, dalam webinar Telaah Kritis Guru Besar Indonesia atas RUU Cipta Kerja Sektor Pendidikan dan Kebudayaan, Selasa (29/9).
Pasca dicabutnya klaster pendidikan dalam RUU tersebut, Koentjoro meminta kepada DPR dan pemerintah agar tetap konsisten untuk tidak lagi memasukkan substansi pengaturan pendidikan nasional baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau peraturan lainnya yang merupakan derivasi dari RUU Cipta Kerja.
Namun sebaliknya, ia mendorong Komisi X melakukan inisiasi untuk segera menggagas dan mengeluarkan inisiatif melakukan revisi RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang baru dengan model omnibus law. Sebab, katanya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang sudah berlaku hampir tujuh belas tahun, dinilai kurang akseleratif untuk merespons persoalan dan tantangan disrupsi pendidikan di masa kini dan yang akan datang. “Perlu penyesuaian dengan dinamika perubahan zaman dalam konteks kekinian dan masa depan,”paparnya.
Webinar yang diselenggarakan oleh Dewan Guru Besar UGM ini juga mengundang pembicara anggota guru besar dari perguruan tinggi lainnya, anggota DPR dan DPD RI.
Guru Besar IPB, Prof. Dr. Ari Purbayanto, mengatakan pasca dikeluarkannya klaster pendidikan dalam RUU Cipta Kerja ini maka para akademisi dan guru besar perguruan tinggi perlu melakukan revisi Sisdiknas dalam rangka penguatan sistem pendidikan di Indonesia. Hal senada juga disampaikan oleh Prof. Cecep Darmawan dari Universitas Pendidikan Indonesia yang menurutnya pendidikan merupakan sektor publik sehingga tidak ada tujuan komersialisasi.
Sementara Prof. Ganjar Kurnia dari Universitas Padjajaran mengkritisi hilangnya frasa kebudayaan Indonesia dalam RUU Cipta Kerja. Menurutnya, dalam draft RUU ini tidak terlihat frasa kebudayaan, padahal untuk menciptakan SDM yang unggul perlu pemahaman wawasan kebangsaan dan bela negara, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. “Jika ada perguruan tinggi asing boleh masuk apakah ini akan diajarkan lagi?,” katanya.
Bahkan dalam RUU ini, kata Ganjar Kurnia, perguruan tinggi asing tidak ada aturan yang harus memberikan muatan pendidikan agama, bahasa Indonesia dan kewarganegaraan bagi peserta didik. “Meski ini tujuannya untuk meningkatkan daya saing dan ekonomi semata sementara pendidikan karakter diabaikan dan meninggalkan nilai kebudayaan dari tujuan pendidikan nasional,” ungkapnya.
Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, mengatakan pihaknya sepakat mengeluarkan pasal pendidikan dalam RUU Cipta Kerja karena mempertimbangkan masukan dan penolakan dari elemen masyarakat. ”Rekomendasi dari Komisi X, kita minta klaster pendidikan dikeluarkan dengan berbagai pertimbangan, tentu semangatnya kita ingin perubahan signifikan yang lebih pas di revisi Sisdiknas masuk dalam Prolegnas pada tahun 2021,” katanya.
Penulis : Gusti Grehenson