Beberapa hari lalu pemerintah mengeluarkan instruksi terkait penerapan pembatasan sosial berskala kecil atau mini lockdown untuk menekan angka penularan Covid-19 sekaligus menjaga aktivitas perekonomian agar dapat tetap berjalan.
Menurut epidemiolog UGM, Bayu Satria Wiratama, MPH, langkah ini tidak akan efektif untuk diterapkan di daerah di mana tingkat penyebaran Covid-19 sudah relatif tinggi, terutama jika pemerintah daerah tidak bisa melakukan tracing dan testing yang kuat dan pemetaan kasus yang baik.
“Karena micro lockdown ini butuh didukung kemampuan tim tracing dan analisis data yang bagus untuk menentukan mana saja klaster-klaster penularan, mana yang harus dilakukan pembatasan,” terangnya.
Ia menambahkan, jika kasus banyak dan ternyata pemetaan tidak detil, maka akan terlihat seolah-olah semua daerah butuh di-lockdown, sehingga pada akhirnya akan sama seperti lockdown atau karantina daerah.
Di Indonesia sendiri kasus Covid-19 memang masih terus bertambah. Hingga Minggu (27/9) data pemerintah menunjukkan total terdapat 275.213 kasus Covid-19 di tanah air dengan penambahan 3.874 kasus baru.
Pembatasan berskala kecil yang dimaksud adalah pembatasan di tingkat desa, RT, RW, ataupun perkantoran. Penerapannya akan didasarkan pada data sebaran Covid-19, untuk melihat desa atau wilayah mana yang berada di zona merah atau hitam, sehingga kemudian hanya desa tersebut yang akan menerapkan mini lockdown.
Langkah ini dinilai banyak pihak dapat menjadi alternatif bagi kebijakan pembatasan aktivitas sosial ekonomi di level yang lebih luas seperti kabupaten/kota atau provinsi yang dikhawatirkan akan berdampak pada ekonomi.
Bayu tidak memungkiri bahwa langkah ini bisa saja menjadi upaya pengendalian yang efektif, terutama jika diterapkan di daerah di mana tingkat penyebaran Covid-19 belum terlalu tinggi.
Namun, pembatasan semacam ini perlu dilakukan dengan terarah mulai dari pemetaan, pembatasan, bantuan makanan, juga tracing dan testing di tingkat terkecil yang akan di-lockdown.
Jika kebijakan mini lockdown diterapkan, daerah-daerah menurutnya memiliki kemampuan atau kapasitas untuk menerapkan langkah-langkah karantina lokal, terutama di tingkat ibukota provinsi.
Untuk proses tracing sendiri, selama ini menurutnya masih menghadapi sejumlah kendala, terutama dari aspek keterbatasan sumber daya manusia. Padahal, standarnya pada setiap kasus pasien positif Covid-19, rasio lacak isolasi mencapai setidaknya 30 orang.
“Upaya tracing selama ini masih belum berjalan baik, karena rasio lacak isolasi setiap kasus belum mencapai minimal 30 orang per satu orang kasus,” kata Bayu.
Penulis: Gloria
Foto: Freepik.com