Pandemi Covid-19 menyebabkan peningkatan dalam penggunaan telemedicine oleh masyarakat. Hal itu senada dengan pernyataan Presiden Jokowi yang menyampaikan bahwa penggunaan telemedicine melalui aplikasi yang berkerja sama dengan Kementrian Kesehatan RI meningkat dari 4 juta menjadi 15 juta.
Meskipun demikian, regulasi yang terinci mengenai telemedicine guna penjaminan mutu dan keamanan layanan bagi para pengguna belumlah tersedia. Meskipun, surat edaran dari Kemenkes yang memberikan fleksibillitas pelayanan kesehatan berbasis teknologi telah tersedia.
Akan tetapi, beberapa inovasi terkait pengendalian pandemi bermunculan, salah satunya terkait pendekatan baru dalam regulasi kesehatan, yakni regulatory sandbox. Inovasi ini sebenarnya telah diterapkan di Indonesia sejak 2018 lalu melalui Otoritas Jasa Keuangan dan hanya berfokus untuk teknologi finansial. Mengenai penerapan di sektor kesehatan, bisa kita melihat contoh dari Singapura yang telah menerapkannya untuk telemedicine dan mobile health.
Regulatory sandbox ini menjadi penting untuk menguji sebuah peraturan berdasarkan kondisi riil yang ada di masyarakat dengan lebih cepat dan tepat. Terlebih, mengingat pembentukan regulasi di tingkat nasional membutuhkan waktu yang lama dan sumber daya besar. Selain itu, regulatory sandbox juga dapat menjembatani kebutuhan antara perkembangan industri kesehatan digital dengan kebutuhan regulator kesehatan. Hal itu karena prosesnya yang mengharuskan kedua sektor untuk berkerja sama secara intensif.
Melihat hal tersebut, tim peneliti Tata Kelola Malaria dari Pusat Kedokteran Tropis UGM berkerja sama dengan Kemenkes RI dan pendanaan dari Riset Inovatif-Produktif (RISPRO) LPDP Kemenkeu menghadirkan seminar daring bertajuk “Opportunities and Challenges of Digital Health Regulatory Sandbox to Support Malaria Elimination” pada Kamis (24/9) lalu.
Dalam seminar ini hadir Praveen Raj Kumar, Perwakilan Ministry of Health Singapura, yang menceritakan pengalaman dalam menerapkan regulatory sandbox untuk melindungi keselamatan pengguna layanan telemedicine dan berbagai startup kesehatan. Program mereka dikenal dengan nama Licensing Experimentation and Adaptation Program (LEAP).
Dengan hal itu, Praveen menyebut regulasi mereka tidak lagi bersifat reaksioner, melainkan antisipatif. “Meskipun, undang-undang mengenai telemedicine baru akan diluncurkan tahun 2022 mendatang, tetapi akses konsumen terhadap layanan telemedicine berkualitas dijamin oleh pemerintah melalui program tadi,” terangnya.
Lim Wei Mun, CEO Doctor Anywhere, salah satu startup yang sukses melewati program regulatory sandbox mengungkapkan manfaat dari program tersebut bagi perusahaan rintisan. Menurutnya, investor merasa lebih aman saat berinvestasi kepada startup. “Saat memperluas bisnisnya ke luar Singapura, label terlisensi dalam program regulatory sandbox juga memberikan nilai tambah,” ujarnya.
Pengalaman penerapan regulatory sandbox untuk teknologi finansial Indonesia diuraikan oleh Maskum, advisor Inovasi Keuangan Digital di Otoritas Jasa Keuangan. Melalui pendekatan light touch and safe harbor, OJK berharap agar perkembangan teknologi tidak terestriksi oleh peraturan yang kaku. Perusahaan rintisan yang sukses menjalani program regulatory sandbox di OJK semakin bertambah dengan berbagai kekhususan dalam bidang teknologi finansial.
Dari sudut pandang hukum, Rimawati, dosen Fakultas Hukum UGM, mengemukakan pentingnya hukum progresif dalam mengantisipasi inovasi disruptif yang secara realitas hukum sering kali tidak sejalan dengan peraturan hukum (positif) yang sudah ada. “Regulatory sandbox, sebagai salah satu bentuk hukum progresif, dimungkinkan diterapkan di sektor Kesehatan sepanjang tidak mencederai kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan masyarakat,” paparnya.
Saat ini, tim peneliti dari Pusat Kedokteran Tropis UGM sedang merumuskan model tata kelola regulatory sandbox untuk mendukung eliminasi malaria. Sebelumnya, tim peneliti telah mengembangkan model digital untuk pemantapan mutu eksternal (PME) diagnostik malaria yang telah mendapatkan pengakuan HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual).
Kebijakan program malaria mengharapkan agar 90 persen fasilitas pelayanan kesehatan mampu menerapkan Pemantapan Mutu Eksternal (PME). Kenyataannya, hanya 10 persen yang mampu. Adanya regulasi yang melibatkan berbagai pihak (termasuk pelaku teknologi seperti startup) dalam mendukung program eliminasi malaria, diharapkan dapat meningkatkan capaian PME dan jaminan mutu dalam diagnostik malaria. Tata kelola yang baik di bidang telemedicine juga dapat mendukung target eliminasi malaria sepenuhnya di tahun 2030.
Tim peneliti berharap agar pihak yang berwenang segera memanfaatkan regulatory sandbox sebagai salah satu terobosan kebijakan. Hal itu untuk mendukung akses pelayanan kesehatan yang berkualitas melalui inovasi digital di era adaptasi kebiasaan baru sekarang ini.
Penulis: Hakam
Foto: Wartaekonomi.co.id