Universitas Gadjah Mada (UGM) dan WhatsApp meluncurkan program pelatihan bertemakan “Perempuan Melawan Hoaks Politik di WhatsApp Grup dalam Pilkada 2020” untuk mendukung para tokoh komunitas perempuan di empat kota yang menjadi agen perubahan dalam memerangi penyebaran hoaks sepanjang Pilkada 2020.
Pelatihan tersebut merupakan kelanjutan dari hasil riset berjudul “Grup WhatsApp dan Literasi Digital Perempuan Indonesia” yang dipublikasikan awal tahun ini oleh Departemen Ilmu Komunikasi UGM. Bagi kebanyakan perempuan, WhatsApp adalah perpanjangan dari kehidupan sosial dimana lebih dari separuh grup WhatsApp mereka adalah keluarga dan teman-teman.
Novi Kurnia, Ketua Program Magister Ilmu Komunikasi UGM, mengatakan sebanyak 70 persen dari 1.250 responden perempuan mengaku memiliki hingga 10 grup WhatsApp, yang seringkali menjadi tempat dimana mereka terpapar hoaks dan disinformasi. Dari riset yang dilakukan memperlihatkan 74 persen perempuan yang terpapar hoaks memilih untuk tidak menanggapi pesan meragukan yang diterima karena untuk menghindari konflik.
“Padahal, kami melihat perempuan justru berkesempatan membawa perubahan dalam komunitasnya asalkan terbekali dengan pelatihan literasi digital yang tepat. Inilah mengapa kami berkolaborasi dengan WhatsApp untuk menyelenggarakan rangkaian program pelatihan ini,” ujarnya di Kampus UGM, Senin (19/10).
Terkait Seri Pelatihan Digital Bagi Perempuan Indonesia: Perempuan Melawan Hoaks Politik di WhatsApp Dalam Pilkada 2020, Novi menandaskan hampir 86,6 persen hoaks terbanyak yang ditemukan di WhatsApp adalah hoaks politik. Sementara sebanyak 49 persen sumber hoaks terbanyak Grup WhatsApp teman/alumni.
“Didapati rata-rata skor kompetensi kritis perempuan Indonesia sebesar 2,2 dalam menavigasi misinformasi di WhatsApp, angka ini lebih rendah dibandingkan kompetensi fungsional yang mencapai 2,38. Oleh karena itu, sedemikian penting pelatihan ini dilakukan,” terangnya.
Novi menjelaskan seri pelatihan literasi digital bagi perempuan Indonesia dalam melawan hoaks politik di WhatsApp dalam Pilkada 2020 merupakan program lanjutan dari Riset Grup WhatsApp dan Literasi Digital Perempuan Indonesia. Tujuannya untuk membekali perempuan Indonesia agar mampu berperan aktif sebagai agen literasi digital dalam melawan hoaks dan ujaran kebencian yang muncul dalam Pilkada 2020 yang berlangsung di tengah pandemi Covid-19.
“Dalam pelatihan ini para peserta akan diberikan materi berupa buku modul, buku penugasan, video modul dan video penugasan,” katanya.
Novi menjelaskan dengan penyelenggaraan pelatihan ini kompetensi yang ingin dicapai diantaranya agar perempuan mampu menggunakan media digital, memanfaatkan fungsi media digital, menilai informasi secara kritis dan akhirnya mampu melakukan aksi melawan hoaks.
“96 perempuan dari empat kota yang rawan hoaks, rawan tekanan politik dan rawan pandemi adalah mereka yang berada di Makassar (Sulawesi Selatan), Mamuju (Sulawesi Barat), Tangerang Selatan (Banten) dan Tomohon (Sulawesi Utara). Pelatihan ini terselenggara berkat kerja sama Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Fisipol UGM dengan WhatsApp, CfDS, PR2Media dan Jogja MediaNet,’ urainya.
Novi yang juga koordinator pelatihan menambahkan di Makassar sebanyak 58 persen perempuan rata-rata menerima satu hingga tiga pesan yang menyesatkan dari grup mereka setiap harinya. Lebih dari tiga perempat isi pesan-pesan tersebut berkaitan dengan politik.”
Pelatihan dilakukan secara daring melalui Grup WhatsApp dan Zoom, pada tanggal 19-24 Oktober 2020. Dalam program pelatihan ini juga disertai dengan pendampingan melalui Grup WhatsApp selama satu bulan setelah pelatihan hingga pasca pemungutan suara pilkada.
Pelatihan ini melibatkan 10 akademisi, peneliti dan praktisi di bidang literasi dan teknologi informasi yang merupakan kolaborasi dari Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, PR2Media dan Jogja MediaNet.
Salah satu peserta pelatihan yang telah mendaftarkan dirinya adalah Andi Sri Wulandani, perempuan berumur 38 tahun dari Makassar. Andi pernah bekerja di Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Soppeng dan kini menjadi kepala sebuah institusi penelitian di Makassar.
Menurutnya, setiap orang, termasuk dirinya sendiri menggunakan WhatsApp sebagai sarana komunikasi utama untuk terhubung dengan teman, keluarga, dan rekan kerja.
“Tanpa pengetahuan dan kesadaran yang cukup, mudah bagi kita untuk terperangkap dalam informasi yang belum pasti kebenarannya. Oleh sebab itu, saya tidak sabar untuk mengikuti pelatihan ini dan berharap ilmu yang saya dapatkan bisa saya bagikan ke komunitas saya. Saya yakin kita bisa bersama-sama melawan hoaks dengan upaya kolaboratif,” ungkap Andi.
Pelatihan ini akan diadakan di empat kota/kabupaten terpilih, yakni Tangerang Selatan, Mamuju, Tomohon, dan Makassar. Keempat lokasi ini diidentifikasi oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai daerah yang rentan konflik akibat disinformasi.
Direktur Kebijakan Publik WhatsApp APAC, Clair Deevy, percaya teknologi dan peningkatan literasi digital yang baik dapat menjadi solusi atas isu ini. Menurutnya, WhatsApp memiliki teknologi pendeteksi spam terbaik.
“Dengan teknologi ini, WhatsApp mendeteksi akun-akun yang menunjukkan perilaku mencurigakan, seperti akun baru terdaftar yang mendadak mengirimkan pesan dalam jumlah besar sekaligus. Akun-akun seperti ini mungkin disalahgunakan untuk menyebarkan spam dan hoaks,” ucapnya.
Menurut Deevy WhatsApp tetap menyarankan penggunanya untuk selalu memeriksa kebenaran pesan yang diterima sebelum membagikannya. Disarankan juga untuk selalu merujuk informasi penting kepada sumber yang terpercaya dan resmi.
“Maka dari itu, kami sangat antusias dapat bekerja sama dengan institusi seperti UGM untuk semakin mendorong keterlibatan pengguna Whatsapp dalam melawan hoaks dan disinformasi,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : WinNetNews