Ketersediaan pangan terbukti sangat penting karena pangan adalah kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Banyak contoh negara dengan sumber ekonomi memadai tetapi mengalami kehancuran karena tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduknya.
Dalam konteks pemenuhan kebutuhan pangan tersebut, sektor kehutanan dapat berperan melalui optimalisasi potensi sumber daya hutan sebagai sistem penyangga kehidupan (Life Supporting System) dan penyedia pangan (Forest for Food Production). Kedua bentuk pemanfaatan potensi sumber daya hutan tersebut diharapkan mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan.
Dr. Sonya Dewi, koordinator regional ICRAF, menyatakan ketahanan pangan masih menjadi permasalahan lokal dan global, dan secara global lebih dari 820 juta orang masih menderita kelaparan. Sementara 2 miliar orang dewasa dan 40 juta anak di bawah 5 tahun mengalami kelebihan berat badan.
“Nihil kelaparan adalah keharusan, komitmen global goal kedua dalam Sustainable Development Goals (SDG) telah meratifikasi 193 negara, termasuk Indonesia. Berdasar Global Food Security Index, Indonesia berada pada urutan ke-62 dari 113 negara pada tahun 2019. Ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, meskipun ketahanan pangan masih belum merata dan perlu untuk terus ditingkatkan,” ujarnya, Kamis (22/10) pada Webinar Nasional Research Update#4 bertema “Dukungan Sektor Kehutanan untuk Kedaulatan Pangan Nasional”.
Sonya berpandangan agroforestry memiliki peran untuk mengatasi permasalahan ketahanan pangan dengan segala aspeknya. Menurutnya, berbagai produk agroforestri secara langsung menyediakan pangan dan nutrisi.
Sementara itu, tutupan pepohonan meningkatkan asupan micronutrients di Indonesia dan Afrika sehingga mampu mengurangi malnutrisi. Praktik agroforestri ini menyumbang pada pemeliharaan jasa lingkungan secara luas.
“Dengan adanya dampak perubahan iklim global, pepohonan di dalam dan di luar hutan menyumbang pada ketahanan pangan,” katanya.
Sayangnya, tren agoforestri di Indonesia mengalami penurunan. Melalui pemetaan citra satelit ditengarai bahwa luasan agroforestri di Indonesia sekitar 20 juta hektare pada tahun 1990 turun secara konsisten menjadi 16,6 juta di tahun 2005 dan menjadi 12 juta pada tahun 2010. Penurunan tren luasan agroforestri ini disebabkan oleh alihguna lahan menjadi lahan pertanian intensif atau menjadi pemukiman atau infrastruktur.
Meski begitu agroforestri tetap memberi manfaat pada praktik petani di seluruh Indonesia yang tersebar secara geografis dan sangat beragam. Setidaknya secara ekonomi memberi kontribusi pendapatan 38 – 76 persen dari 750 sampel KK di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
“Selain itu, juga memberi manfaat yang beragam di tingkat plot, makanan, serat, bahan bakar, pakan ternak, kayu, obat-obatan, juga manfaat yang lain jasa ekosistem, ketahanan penghidupan masyarakat, fleksibilitas dan distribusi, keadilan gender dan penguasaan lahan,” imbuhnya.
Ganjar Pranowo, S.H., M.I.P, Gubernur Jawa Tengah, menambahkan Indonesia saat ini terus berperang soal politik pangan. Indonesia terus berjuang memilah mana-mana yang harus diimpor dan mana yang tidak.
Di tengah pandemi Covid-19 ini, katanya, beberapa negara saat ini dan kedepan sudah mulai membatasi untuk melakukan ekspor pangan ke negara lain. Menurutnya, saat ini telah terjadi perang perebutan setelah soal energi di beberapa waktu lalu dan soal air di masa depan.
“Kehutanan sebagai sumber daya, baik secara sumber daya manusia, teknologi dan ilmu pengetahuan yang luar biasa perlu untuk terus dicoba dan lakukan. Ketahanan pangan bukan hanya soal memenuhi kebutuhan pangan, namun lebih luas yaitu ketahanan nasional, jika kita bisa mengatasi ini tentu menjadi negara yang hebat,” katanya.
Dr. Budiadi, S,Hut , .Agr., Sc, Dekan Fakultas Kehutanan UGM, menambahkan Webinar Nasional Research Update#4 bertema “Dukungan Sektor Kehutanan untuk Kedaulatan Pangan Nasional” digelar dalam rangka Dies Natalis ke-57 Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Tahun 2020. Pilihan tema tersebut, menurutnya, menjadi tema yang paling relevan di tengan pandemi Covid-19 saat ini, selain tema kesehatan.
“Pada awal-awal pandemi, kita sudah berdiskusi bagaimana sektor kehutanan mampu berkontribusi terkait dengan pandemi ini secara nyata untuk kepentingan nasional,” terangnya.
Menurut Budi, kehutanan untuk pangan atau forest for food sebenarnya isu lama yang sering didiskusikan agar kawasan hutan mampu berkontribusi secara langsung pada produksi pangan secara langsung. Sebab, diakui atau tidak ada sekitar 25 ribu desa berada di kawasan hutan dan 5 ribu diantaranya berada di Jawa dan notabene adalah kantong-kantong kemiskinan dan tidak pernah bangkit selama beberapa dekade.
“Kantong-kantong ini bisa menimbulkan ketidakstabilan dan persoalan integrasi. Ini yang menjadi masalah, karenanya ketahanan pangan bukan hanya persoalan pemenuhan kebutuhan pangan tetapi ketahanan nasional,” katanya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : valanstories.com