Pemerintah Indonesia telah menetapkan jadwal pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak 2020, dengan rangkaian kegiatan yang telah dimulai sejak akhir September 2020 lalu. Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Penetapan calon dan penetapan nomor urut calon telah dilakukan pada 23-24 September 2020. Tahapan masa kampanye telah dimulai , dan akan berlangsung sampai dengan 5 Desember 2020. Untuk selanjutnya memasuki masa tenang, dan proses pemungutan suara dilakukan 9 Desember 2020. Proses selanjutnya adalah penghitungan suara antara 9 hingga 15 Desember 2020.
Tahap-tahap kegiatan Pilkada Serentak ini dikhawatirkan berbagai pihak akan menciptakan kerumunan. Padahal seharusnya hal ini dihindari dalam masa pandemi Covid-19 ini. Melihat kondisi itu, Dewan Guru Besar UGM menggelar Diskusi Nasional bertajuk “Pilkada Serentak dan Antisipasi Penyebaran Covid-19” pada Selasa (27/10).
Abhan, SH., M.H., Ketua Bawaslu, menyatakan bahwa terdapat dua prinsip dalam melaksanakan Pilkada Serentak dalam kondisi pandemi ini. Ia merujuk pada prinsip penanganan pandemi dan pilkada, yakni yang satu menghindari kerumunan dan satu lagi malah mobilisasi massa.
“Hal tersebut menjadi tantangan berat penyelenggara untuk mengombinasikan kedua kepentingan prinsip berbeda. Maka dari itu kami putuskan jalan tengahnya, yakni menggabungkan asas luber jurdil ditambah dengan sehat,” terangnya.
Lebih lanjut, Abhan menjelaskan bahwa tugas pengawasan dari Bawaslu kini tidak hanya yang berhubungan dengan urusan electoral semata. Tugas non–electoral yakni memastikan agar jalannya tahapan pilkada ini memenuhi protokol kesehatan juga dilakukan oleh Bawaslu. Namun, untuk tugas non-electoral ini Bawaslu tidak sendirian, melainkan bersama Pokja yang terdiri dari Polisi, TNI, dan Satgas Covid-19.
Abhan menambahkan nantinya jika terdapat pelaporan pelanggaran, keluhan, atau banding terkait hasil pilkada, mekanisme yang dijalankan akan secara daring. Selain itu, ia menyebut terkait pengawasan non-electoral, telah menyiapkan indeks kerawanan pemilihan umum sebagai standar perlu tidaknya untuk memberi sanksi kepada peserta.
“Kami ingin menjamin agar setiap warga negara dapat menggunakan haknya untuk memillih, tanpa dibebani kekhawatiran akan ancaman kesehatan. Hal itu dengan kerja sama antara kami, Bawaslu dan KPU, sebagai penyelenggara bersama pemerintah untuk memprioritaskan penyelenggaraan yang aman di semua tahap pemilihan sesuai protokol kesehatan. Namun hal itu tanpa mereduksi asas, prinsip, mekanisme, integritas, dan legitimasi dari pemilihan tersebut. Intinya kami ingin menjaga agar pemilihan ini tetap berkualitas,” terangnya.
Hal tersebut dibenarkan oleh Dr. Arie Sujito, S.Sos., M.Si., Ketua Departemen Sosiologi UGM. Ia menyebut karena bagaimanapun pilkada telah diputuskan untuk terselenggara. Maka dari itu, penyelenggara perlu bekerjakeras menjaga kualiats kejujuran serta kredibilitasnya agar legitimasi poltiik demokrasi negeri ini terus membaik.
“Ukuran pilkada berhasil tidak semata dari sisi prosedural, melainkan substansinya. Hal itu yakni secara hukum dan politik tidak ada manipulasi, intimidasi, kekerasan, dan praktik kotor. Serta, secara medis mencegah timbulnya korban dengan memperketat protokol kesehatan yang efektif,”ujarnya menekankan.
Sementara itu, dr. Riris Andono Ahmad, MD., MPH., Ph.D., Direktur Pusat Studi Kedokteran Tropis FKKMK UGMm mengatakan sebenarnya merasa pesimis dengan pelaksanaan Pilkada Serentak ini, jika menilik Pemilu 2019. Hal itu karena kala itu, ia sebut pelaksanaannya tidak mempunyai rencana mitigasi terhadap kondisi wabah atau pandemi. Selain itu, ia juga menyebut urgensi Pilkada ini tidak terlalu diformulasikan. Jika ingin melaksanakan, ia sebenarnya menyarankan agat menunggu penularan terkendali.
Akan tetapi, karena sudah terlanjut diputuskan, Riris menyatakan bahwa penting untuk mengomunikasikan risiko dan urgensi pilkada ini kepada masyarakat. Hal lain yang menurutnya diperlukan yaitu menghilangkan kampanye tradisional. Selain itu, perlu juga adaptasi manajemen pencoblosan dengan memperbanyak TPS, atur waktu, pastikan protokol, serta hak pilih bagi terdiagnosis Covid-19. Terakhir, ia menyebut jika bisa pertimbangkan untuk menyediakan metode pencoblosan alternatif, utamanya dengan perkembangan teknologi informasi sekarang ini. “Kesemua hal itu, tentunya dengan tetap mengimplementasikan protokol yang tegas dan konsisten,” pungkasnya.
Penulis: Hakam