Ada beberapa faktor menarik ketika mengkaji Kota Surakarta sebagai Heritage Tourism. Selain sebagai deklarator dan anggota jaringan Kota Pusaka Indonesia (KJPI) sejak 2008 dan anggota Organization of World Heritage Cities, Kota Surakarta memiliki 2 keraton, yaitu Keraton Kasunanan (1745) dan Pura Mangkunegaran (1757). Juga ada benteng Belanda yaitu Vastenburg sejak 1745.
Kemudian di kota Solo (Surakarta) terdapat dua kawasan cagar budaya berupa permukiman, yaitu permukiman Baluwarti dan permukiman Laweyan. Di luar itu, masih ada satu permukiman, yaitu permukiman Kauman, tetapi kawasan ini belum ditetapkan sebagai cagar budaya dan sudah mulai kehilangan keasliannya.
“Karena itu saya lebih memilih kawasan permukiman Baluwarti dan permukiman Laweyan untuk menjadi kajian dalam penelitian”, ujar Dr. RR. Erna Sadiarti Budiningtyas, dosen dan Peneliti Pariwisata ABA St.Pignatelli, Surakarta, saat memaparkan hasil penelitian disertasinya dalam Seminar Nasional Kepariwisataan Seri #1 yang digelar oleh Prodi Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana UGM, secara daring Selasa malam (3/11).
Selain menyoroti citra Laweyan sebagai heritage tourism yang semakin merosot, dalam penelitian Erna juga menemukan fakta lain di kampung heritage Baluwarti. Disebutnya, Laweyan sebagai kondisi kopen ora kajen, dan kawasan Baluwarti sebagai kajen ora kopen.
Kopen ora kajen (terawat tapi tidak dihargai), menurut Erna, penggambaran kondisi Kampung Batik Laweyan. Kondisi kampung yang masuk dalam heritage tourism ini begitu memprihatinkan, dan masuk dalam kategori unsustainable tourism.
Erna mengungkap semakin banyak daya tarik warisan budaya yang hilang. Karena persaingan dagang maka rumah-rumah juragan batik di Laweyan banyak berpindah tangan.
Selain itu, karena urusan warisan maka rumah-rumah itupun terpotong-potong tidak utuh. Para pedagang batik yang kecil-kecil hingga pinggiran juga kehilangan pasar karena kalah dalam persaingan.
“Yang bertahan adalah usaha batik besar-besar. Demi melayani tamu, mereka pun kemudian membuka rumah, dan tidak sedikit dari tamu masuk rumah melihat-lihat batik. Ini karena persaingan sehingga rumah-rumah pun seperti di jag-jag (ora kopen/ tidak dihargai) lagi,” katanya.
Bagi Prof. Dr. M. Baiquni, M.A mengembangkan pariwisata Surakarta berbasis kearifan lokal sebaiknya dengan konsep merasakan dan mengalami sehingga wisatawan bisa tinggal berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Wisatawan tidak hanya melihat orang membatik tapi sekaligus belajar membatik, dan belajar pula klenengan, tarian, atau musik kampung lainnya seperti hadrah.
Menurutnya, pariwisata harus dikembangkan dengan mengembalikan kultur, kearifan lokal dan perawatan lingkungan, sebab dengan pengembangan pariwisata seperti itu berarti juga pemulihan kondisi lingkungan hidup. Untuk menghidupkan kampung-kampung heritage, perlu dilakukan dengan mengembalikan ekologi dan ekosistemnya.
“Ada tiga hal yang bisa dikembangkan sebagai ikon pariwisata Solo berbasis kearifan lokal, yaitu kuliner, batik dan sejarah. Kuliner ada nasi liwet, selat Solo, cabuk rambak dan sebagainya. Batik ada kampung batik Kauman, Baluwarti, Laweyan,” katanya.
Selain itu, katanya, ada juga Museum Sangiran yang banyak menyajikan masa pre-historic. Sangiran ini adalah world heritage, dan memiliki daya tarik untuk belajar antropologi, arkeologi, geografi maupun sejarah.
“Meski berjarak 17 km dari Sala, Sangiran bisa dikembangkan dalam rangkaian pariwisata Solo. Apalagi di Sangiran juga telah ada World Class Museum,” katanya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : blog.airyrooms.com