Kegembiraan wisuda adalah momen kebahagiaan setiap mahasiswa setelah dinyatakan lulus dari studi. Kegembiraan bersama keluarga saat prosesi wisuda adalah peristiwa yang selalu dinanti.
Itu pula yang menjadi dambaan Wahyu Suri Yani, lulusan S2 Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM. Semula ia sudah merencanakan jauh hari akan memboyong keluarga besarnya ke Yogyakarta untuk menghadiri wisuda di Kampus UGM.
“Apa daya wabah Covid-19 mengubah semua. Wisuda tidak bisa di Graha Sabha UGM, tapi di rumah sendiri didampingi mama dan papa,” katanya, Rabu (11/11).
Tepat pada tanggal 21 Oktober 2020 di rumahnya Air Dingin di Jorong Koto Baru, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatra Barat, ia pun mengikuti wisuda Program Pascasarjana UGM secara virtual.
Meski di rumah, ia pun menyiapkan 3 jubah baju wisuda. Ia membuat simulasi wisuda dengan menempatkan sang ayah sebagai Rektor UGM dan ibu sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya UGM. Di pagi itu, ia sudah mempersiapkan laptop pada posisi stand by menunggu konfirmasi zoom dibuka.
“Deg-degan kedap-kedip, listrik sudah memberikan tanda alamat signal akan off hari ini. Dan benar saja, jam 7.46 wib satu menit menjelang wisuda dimulai, signal hilang total, alamat wisuda tidak bisa di rumah,” ucapnya.
Sebagai solusi, ia pun dengan cepat segera pergi ke bukit depan rumah. Sebuah bukit tertinggi di dekat ladang kopi milik papanya, yaitu Bukit Lurah Dalam.
Meski tahu sudah terlambat, adik bungsunya Aulia Rahman telah menyiapkan motornya lengkap dengan sepatu boots ke ladang. Ia mengingatkan untuk mempersiapkan minum dan payung.
Aulia Rahman adalah mahasiswa Universitas Maritim Ali Haji Kepulauan Riau. Ia pun sudah terbiasa ngezoom dari atas bukit untuk kuliah.
“Uni pegang Rahman erat-erat ya. Begitu ucap Rahman saat saya akan membonceng, sudah lebih dari satu tahun nggak ke ladang ternyata medan yang harus dilewati semakin parah, sempit, berlumpur dan terjal. Kalau tidak karena dah siap-siap mau wisuda, saya tidak akan sampai mendaki bukit. Apalagi jalannya sungguh terlalu,” gerutu Suri dalam ceritanya.
Saat mendaki bukit bersama Rahman, kata Suri, beberapa kali hampir jatuh. Ketika menemui jalan yang sangat parah, ia pun minta turun karena takut jatuh.
“Biasanya kalau dah motoran banyak cerita, tapi saat itu aku diam senyap karena betapa khawatirnya kalau jatuh. Apalagi mataku dah mulai bengkak, dan tiba-tiba flu nggak jelas,” ucap Suri.
Koto Baru adalah daerah pegunungan dengan ketinggian 1.400-1.800 m. Pemukiman Penduduk dikelilingi bukit-bukit dengan suhu yang dingin sekali di pagi hari 13 derajat celcius dan di siang hari agak menghangat mencapai 25 derajat celcius. Dengan kondisi alam perbukitan dan subur, daerah ini sangat cocok untuk daerah pertanian.
Setelah berliku-liku dari rumah, sekitar jam 08.30 perjalanan motoran pun pada akhirnya sampai di perbukitan Lurah. Segera ia membuka laptop dan mengakses zoom wisuda UGM Bulan Oktober.
Perasaan Suri pun mulai tidak enak. Ia melihat dari layar laptop para wisudawan ribut banget, dan setelah bertanya pada teman satu kelasnya ternyata wisuda sudah selesai.
“Kebetulan dua orang sepupu saya juga sedang mengikuti kuliah secara daring dari atas bukit mencoba memastikan. Keduanya bertanya bagaimana wisudanya etek? Saya pun menjawab sudah selesai. Dua sepupu saya Selvi dan Risti tertawa lepas, dan saya pun ikut tertawa. Kedua sepupu pun kemudian meledek, Etek kuliah di UGM, penelitian di Belanda, wisuda di bukit kampuang awak,” kata Suri sambil tertawa menirukan ucapan sepupunya.
Suri mengaku sedikit kecewa dan sedih. Tapi itu hanya sekejap, ia segera tersadar bahwa baginya wisuda hanyalah seremonial. Ia tetap meyakini yang terpenting adalah proses mencapainya, dan bagaimana ia bisa melihat keterlibatan berbagai pihak terlebih orang tuanya yang menjadi saksi hidup dalam mencapai gelar S2nya.
“Saya pun yang awalnya hanya fokus ke zoom yang masih heboh oleh para wisudawan, akhirnya beralih pandang ke hamparan bukit yang indah. Saya sepertinya diingatkan kembali, pentingnya keberadaan bukit Lurah Dalam ini dalam mensupport pendidikan saya,” paparnya.
Menurutnya, Bukit Lurah Dalam adalah bukit-bukit yang indah. Bukit ini telah menjadi investasi besar dalam melahirkan para sarjana dari berbagai kampus di Indonesia, baik mereka yang kuliah di Pulau Jawa, Kalimantan hingga Aceh.
“Di daerah saya sering mati lampu, kalau lampu mati maka sinyal akan mati, dan satu-satunya kartu seluler yang bisa untuk internetan hanya telkomsel, dan itu tidak di semua tempat. Tanda-tanda lampu akan mati biasanya karena hujan, angin kencang yang mengakibatkan pohon tumbang dan mengganggu kabel listrik,” terangnya.
Wahyu Suri Yani, lulus S2 Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM, setelah berhasil menulis tesis tentang sejarah kesehatan yang sesuai dengan kondisi wabah Covid-19 saat ini. Ia menulis tesis berjudul “Wabah Beri-Beri dI Kalangan Militer Kolonial Belanda Pada Masa Perang di Aceh tahun 1873-1917” dengan bimbingan DR. Agus Suwignyo, MA.
Dalam menulis tesis ini, Suri banyak menggunakan arsip kolonial yang diakses dari ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia), PNRI (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia) dan berkesempatan melengkapi data di Universitas Leiden, Belanda.
“Penelitian di Leiden atas biaya dari program Dana Hibah Penyelesaikan Tesis di Luar Negeri dan untuk jurusan Sejarah ditujukan di ke Leiden University di Belanda. Di Belanda saya mendapatkan data lengkap terkait penelitian saya tentang wabah beri-beri dan berbagai arsip lainnya lembaga arsip Belanda “Nationaal Archive” di Den Haag,” katanya.
Ia berharap setelah lulus hasil penelitiannya tentang menghadapi wabah zaman kolonial bisa dimanfaatkan dan dibaca serta digunakan oleh banyak pihak. Ia pun berharap ada penerbit yang tertarik dan mau meminang tesisnya ini untuk diterbitkan dan dijadikan sebuah buku.
Penulis : Agung Nugroho