Namanya Yuenleni, 42 tahun. Setiap hari ia bekerja sebagai tenaga kependidikan (tendik) laboran di Departemen Biokimia Fakultas Kedokteran, Keperawatan dan Kesehatan Masyarakat (FK-KMK) UGM. Ia sudah bekerja selama 17 tahun di bagian laboratorium Biokimia untuk menyiapkan kegiatan praktikum mahasiswa kedokteran. Namun, sejak Mei tahun 2020 ini, Leni diajak bergabung untuk uji PCR sampel swab dari pasien terduga kena Covid-19. Awalnya ia sempat takut dan merasa khawatir, sampai-sampai ia pun meminta izin suaminya soal tugas barunya itu. “Awalnya takut juga, saya izin suami, syukur dapat izin dan dukungan penuh,” kata Yuenleni dalam bincang-bincang dengan wartawan, Senin (16/11).
Bagi Leni, apa yang dilakukannya merupakan peran kecil dalam membantu pemerintah untuk penanggulangan penyebaran wabah Covid-19. Ia pun mengaku senang karena sudah ikut berperan, meskipun menurutnya peran tersebut tidaklah seberapa dibanding dengan nakes yang berjuang di garda terdepan. “Semoga peran kecil saya bisa membantu orang lain. Paling tidak pasien bisa cepat mendapatkan hasilnya sehingga dokter yang menangani lebih cepat menentukan diagnosis,” kata wanita kelahiran Bojonegoro 42 tahun silam ini.
Menguji sampel swab di laboratorium Mikrobiologi FK-KMK UGM sudah sesuai dengan tugas fungsionalnya sebagai pranata laboratorium. Setiap hari, kata Leni, laboratorium Mikrobiologi FK-KMK menerima ratusan sampel swab dari RS UGM dan sampel dari sivitas akademika UGM yang melakukan pemeriksaan di klinik Gama Medical Center (GMC). “Sampel saat ini tiap hari kira 100 an, tapi kita juga menerima sampel dari puskesmas dan faskes di DIY,” ujarnya.
Untuk menjaga agar tidak terjadi penularan, setiap sampel yang masuk, kata Leni, dimasukkan dalam tabung VTM atau Virus Transport Medium. Lalu, sampel yang terbungkus dalam tabung kecil dalam jumlah banyak dimasukkan kembali ke cool box. Penyerahan sampel swab ini pun harus melalui pintu khusus. “Masuk ke lab lewat pintu sampel khusus,” katanya.
Selanjutnya, setiap sampel dibongkar untuk dimasukkan ke dalam lemari kerja khusus. Para laboran yang akan melakukan uji PCR dari sampel ini diharuskan menggunakan APD secara lengkap berupa hazmat, faceshield, masker berlapis, dan glove berlapis.
Pekerjaan yang dilakoninya saat ini, kata Leni, memang berisiko tertular Covid-19 apabila tidak dilakukan secara hati-hati sehingga protokol standar prosedur lab harus dipatuhi.”Takut dan khawatir kadang ada. Tapi kita selalu mentaati protokol dengan menggunakan APD lengkap, selesai kerja langsung mandi, keramas, dan ganti baju bersih,” kenangnya.
Meski pekerjaannya berisiko tinggi bagi kesehatan, namun suasana kerja di laboratorium Mikrobiologi tidaklah sepi dan menegangkan bahkan sedapat mungkin sesama laboran melakukan pekerjaannya dengan rasa senang dan gembira. “Tim kita selalu kompak, dibuat happy saja, biar imun tetap bagus,” imbuhnya.
Ratusan sampel swab masuk setiap hari, namun ada kalanya sampel yang datang jumlahnya lebih banyak. Leni pun harus kerja lembur dan pulang lebih larut ke rumah setelah hari sudah gelap. “Tergantung jumlah sampel, kalau lagi banyak, kita pulang melebihi jam kerja. Pernah pulang jam 8 malam,” katanya.
Sebelum ikut membantu uji swab sampel Covid, Leni sehari-harinya menjadi laboran yang tugasnya menyiapkan peralatan kegiatan praktikum mahasiswa yang tengah menempuh pendidikan dokter. Bahkan, ia juga membantu uji sampel bagi mahasiswa yang mengerjakan tugas akhir berupa skripsi, tesis dan disertasi. Sesekali ia membantu kegiatan penelitian para dosen.
Pekerjaan sebagai laboran sudah ditekuni Leni selama 17 tahun lebih sejak ia mulai masuk bekerja tahun 2003. Atas dedikasi dan pengabdiannya menjadi laboran dan ikut membantu penanggulangan Covid-19 ini, Leni terpilih sebagai laboran berprestasi UGM tahun 2020 ini. Penghargaan tersebut diberikan oleh Rektor UGM pada Malam Penghargaan Insan Berprestasi, Rabu (4/11) lalu secara daring.
Penulis : Gusti Grehenson