Perempuan menjadi kelompok rentan dalam masa pandemi Covid-19 saat ini. Perempuan mendapat pukulan sangat berat dan baru sebagian besar negara bisa memberikan perlindungan sosial ekonomi yang layak bagi perempuan di tengah pandemi saat ini.
Data PBB menyebut baru ada 25 negara yang menunjukkan upaya serius untuk melindungi perempuan dalam masa pandemi Covid-19. Pandemi tidak hanya menyerang masalah kesehatan, tapi juga basis sosial ekonomi dan psikologis perempuan.
Apalagi di daerah pasca konflik seperti di daerah Maluku, Poso dan Aceh. Kondisi pasca konflik yang belum pulih seutuhnya ditambah pandemi Covid-19 memperparah dampak bagi kaum perempuan.
Dr. Arifah Rachmawati, peneliti senior PSKP UGM, berpendapat pandemi Covid-19 mempersulit perempuan eks kombatan di Aceh. Menurutnya, bukan saja soal pandemi, mereka juga belum selesai dengan problem konflik masa lalu.
“Sehingga pandemi ini menambah persoalan. Persoalan pandemi di daerah pasca konflik menambah persoalan semakin berlapis-lapis,” katanya, Jumat (13/11) saat berlangsung webinar bertema Perempuan, Pandemi dan Perubahan Sosial di Wilayah Pasca Konflik yang diselenggarakan Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM.
Arifah menuturkan perempuan eks kombatan Aceh masih tidak percaya akan adanya bahaya ancaman pandemi Covid-19. Bagi perempuan eks kombatan Aceh ancaman adalah situasi dimana mereka berhadapan dengan peristiwa akan dibunuh, diperkosa, disiksa dan lain-lain. Makanya mereka tidak percaya akan adanya ancaman Covid-19 karena covid-19 bukan ancaman yang nyata.
“Jadi, ingatan mereka pada konflik masa lalu masih erat melekat, bahkan susah bagi mereka menyebut Covid-19 sebagai ancaman, tapi konflik-19,” ucapnya.
Menurutnya, penolakan terhadap Covid-19 juga blamming terhadap konflik yang tidak pernah selesai bagi perempuan Aceh menjadikan mereka resilience (bertahan) dengan cara merela masing-masing. Maka di masa pandemi ini secara teori yang terjadi adalah bounded agency.
“Kondisi dimana harus menghadapi struktur dan norma ketika mereka harus bersikap, dan harus menyesuaikan dengan struktur yang ada yang membatasi mereka,” terangnya.
Dalam pandangan Arifah, perempan bekas kombatan Aceh tidak berwajah tunggal, identitas gender mereka beririsan dengan status sosial dan memunculkan hierarki. Ada perempuan kombatan di hierarki atas yang mendapatkan semua akses, ada yang mendapat salah satu akses dan ada yang sama sekali tidak mendapat akses hingga saat ini setelah 15 tahun MoU Helsinki.
“Dan sayangnya, reintegrasi yang sudah dilakukan belum bisa menjadikan mereka sebagai bagian dari warga negara Indonesia,” jelasnya.
Suraiya Kamaruzzaman, St.L.Lm., M.T, Presidium Balai Surya Ureung Ining Aceh, menambahkan budaya patriarki memberi banyak pengaruh bagi peran perempuan. Mengacu Aceh sekian ratus tahun lalu, menurutnya, jauh lebih egaliter dibanding hari ini.
“Kondisi hari ini, budaya patriarkinya lebih menguat. Kalau ada pejabat Aceh mengatakan Aceh tidak masalah soal peran perempuan karena punya ratu, laksmana perempuan, itu sekian ratus tahun lalu. Buktinya kanum soal pemberdayaan perempuan tak pernah dibuat aturan turunan dan itu tidak bisa dipergunakan secara optimal,” tuturnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Republika