UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah disahkan oleh pemerintah dan DPR sehingga kini sudah mulai diberlakukan. Pemerintah kini tengah menyusun peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja tersebut. Rencananya ada 44 peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja yang akan dibuat, terdiri 41 PP dan 3 Perpres yang akan dikeluarkan oleh 19 Kementerian. Meski begitu, pemerintah tetap menghormati proses judicial review di lembaga Mahkamah Konstitusi.
“Yang jelas UU Cipta Kerja sudah berlaku dan mengikat, meski ada yang setuju dan tidak setuju,” kata Menkopolhukam, Mahfud MD., dalam webinar yang bertajuk Telaah UU Cipta Kerja yang diselenggarakan UGM bekerja sama dengan Dewan Pakar Kagama secara daring, Selasa (17/11).
Mahfud mengatakan pihaknya menghormati proses yang berlangsung di MK terkait juducial review UU ini. Pemerintah menurutnya menerima setiap keputusan yang dikeluarkan oleh MK. Namun begitu, apabila gugatan judicial review nantinya ditolak oleh MK, Mahfud menyarankan kelompok yang menolak UU ini bisa mengajukan usulan revisi lewat kelompok kerja yang tengah menyusun peraturan pemerintah dan Perpres.
Menurut Mahfud, UU Cipta Kerja ini kemunculannya dalam rangka membuka peluang bagi masuknya investasi baik dari dalam maupun dari luar negeri yang selama ini terhambat oleh aturan birokrasi dan peraturan perundang-undangan.
Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan UU Cipta Kerja diharapkan mendorong penciptaan lapangan kerja baru dengan adanya peningkatan investasi dan perlindungan pekerja di tanah air. “Setiap tahunnya ada 6,9 juta masyarakat butuh lapangan kerja baru, ada 3,5 juta pekerja sudah dirumahkan, dan 3 juta angkatan kerja baru, jadi lebih dari 10 juta orang butuh kerja setiap tahunnya,” katanya.
Ia menambahkan selama pandemi Covid-19 telah memberikan dampak bagi 29,12 juta orang rakyat Indonesia, dimana 2,56 juta orang jadi pengangguran, dikarenakan 35,6 persen perusahaan memilih mengurangi jumlah pegawainya. Bahkan, 70,53 persen kelompok masyarakat berpendapatan rendah yang penghasilannya di bawah 1,8 juta per bulan mayoritas mengalami penurunan pendapatan.
Untuk menjawab tantangan besar tersebut menurutnya pemerintah mau tidak mau perlu mempertahankan dan menyediakan lapangan kerja dengan pemangkasan regulasi karena banyak aturan yang menghambat penciptaan kerja. “UU Cipta Kerja diharapkan menyelesaikan ini semua berbasis produktivitas sebagai daya ungkit perekonomian,”paparnya.
Ia menyebutkan pemerintah saat ini tengah menyusun peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja yang terdiri 41 Rencana Peraturan Pemerintah (PP) dan 3 Rencana Perpres dengan melibatkan 19 Kementerian. Namun begitu, pemerintah membuka masukan dari masyarakat dalam bentuk konsultasi publik penyusunannya.
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Prof. Dr. Tadjuddin Noer Effendi, mengatakan dasar pembentukan UU Cipta Kerja ini dalam rangka membentuk ekosistem investasi di tanah air agar jadi lebih baik. Namun, menurut hematnya kehadiran UU ini sangat terlambat. “Seharusnya muncul 20 tahun lalu pada perubahan besar demografi kita, aliran perubahan pekerjaan angkatan kerja kita dari pertanian ke industri,” katanya.
Proses transformasi ekonomi dan ketenagakerjaan serta peralihan angkatan kerja dari sektor pertanian ke industri dahulu seharusnya didukung oleh ekosistem investasi yang baik. Sebab, setiap proses transformasi akan menyebabkan terjadinya perubahan sosial dari budaya kerja, jaminan pekerjaan dan jaminan hari tua. “Di negara kita itu tidak terjadi karena ekosistem investasi belum ada. Peralihan angkatan kerja kita dari pertanian bukanlah dominan ke industri, namun ke sektor informal, 60 persen tenaga kerja kita di sektor informal, hanya 40 persen saja yang ke sektor formal,” katanya.
Dampak dari angkatan kerja yang bekerja di sektor informal ini menjadikan pekerja kita lebih banyak menekuni pekerjaan dengan penghasilan rendah, jam kerja tidak teratur, tidak dilindungi UU, bahkan tidak mendapat bantuan dari pemerintah. “Kondisi ini menyebabkan masalah pengangguran dan kemiskinan selalu tinggi,” katanya.
Sementara Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, menyampaikan data bahwa tidak seluruh pasal dalam UU Cipta Kerja ditolak oleh buruh ketika melakukan aksi penolakan tempo hari. Menurut pandangan Ganjar, antara perusahaan dan buruh selama ini hanya belum menemui titik temu soal outsourcing, alih daya, lembur, hingga PHK. Ganjar menyebutkan sebanyak 365 perusahaan di Jawa Tengah yang melakukan PHK tapi perusahaan yang bisa memenuhi ketentuan jumlah pesangon sebesar 32 kali gaji hanya 5 persennya saja. “Sisanya 95 persen perusahaan tidak melakukan. Hal itu terus berulang-ulang setiap tahun. Menurut saya kenapa kita harus buat angka secara sosiologis tidak pernah ketemu. Diperlukan regulasi untuk meningkatkan produktivitas dan menentukan struktur skala upah di tingkat perusahaan,” katanya.
Penulis : Gusti Grehenson