Sebaran daya tarik wisata Dataran Tinggi Dieng secara kewilayahan berada pada dua kabupaten, yakni Banjarnegara dan Wonosobo. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kedua pemerintah daerah tersebut menjadikan Dieng sebagai salah satu sumber pendapatan.
Dr. Destha Titi Raharjana, S.Sos., M.Si, peneliti Pusat Studi Pariwisata UGM, menyatakan banyak aktor berperan di Dieng yang satu sama lain memiliki peran dan kepentingan berbeda. Kondisi inilah yang tampaknya memunculkan tarik-menarik kepentingan dan berujung pada kusutnya pengelolaan.
“Tidak dipungkiri pesona Dieng sampai saat ini masih mampu menyihir wisatawan untuk datang, termasuk saat new normal, geliat wisata di Dataran Tinggi Dieng sudah terasa,” ujarnya, Selasa malam (18/11) saat berlangsung seri #3 serial Seminar Nasional Kepariwisataan Indonesia Dalam Berbagai Perspektif bertema “Dieng Plateu: Mengurai Benang Kusut Pengelolaan Pariwisata”.
Dieng Plateau berada pada ketinggian tidak kurang dari 2.100 mdpal dan sejak zaman kolonial Dieng Plateau sudah menjadi tempat plesir. Faktor iklim (hawa dingin) menjadi salah satu daya tarik wisatawan datang.
Bahkan, turunnya “embun upas”, sejenis butiran salju, menurut Desta menjadi pesona tersendiri dan hanya dapat dijumpai khususnya di bulan Juli-Agustus. Juga potensi alam lainnya, seperti Telaga Warna, Kawah Sikidang, Geothermal, ataupun sumber air panas menjadi pelengkap menu berwisata di Dieng.
“Aspek budaya masih dapat dijumpai mitos, ataupun ritual pemotongan rambut gembel yang telah dikemas sebagai komoditas. Dari kacamata destinasi, sejatinya potensi Dieng Plateau sudah komplet karena memiliki alam, budaya dan keunikan spesifik,” tuturnya.
Destha menilai respons masyarakat terhadap wisata Dieng cukup baik, diantaranya dengan mengolah hasil pertanian, mengembangkan kesenian, menjadi pemandu wisata, membangun homestay dan mengadakan event budaya, seperti halnya Dieng Culture Festival. Sayangnya, belum semua desa penyangga Dataran Tinggi Dieng terlibat dalam ekonomi pariwisata dan mayoritas warga masih berkutat dengan pertanian, khususnya kentang.
Melihat data yang ada, kata Destha, telah terjadi fluktuasi kunjungan wisata di Dieng oleh tamu asing, dan ini bisa menjadi bahan untuk mengkaji keberlanjutan pariwisata di Dieng. Pada tahun 1970 – 1990 tingkat kunjungan wisatawan asing di Dieng naik cukup baik, dimana kondisi pada waktu itu vegetasi dan ekosistem lingkungan masih terjaga dan belum banyak perubahan fungsi lahan.
Pada tahun 1990 – 2000 tingkat kunjungan mengalami penurunan cukup drastis, dan di saat itu telah banyak terjadi krisis lingkungan. Banyak penikmat Dataran Tinggi Dieng saat itu memberikan penilaian yang kurang positif.
“Pada tahun 2000 – 2010 keatas ada upaya-upaya kesadaran, dengan pelan dan pasti masyarakat Dieng sudah tidak lagi mengeksploitasi besar-besaran terhadap lahan untuk tanaman kentang. Mereka bahkan kemudian berprofesi ganda, selain petani juga menjadi penyedia jasa pariwisata,” paparnya.
Menurut Destha pada tahun 2010 keatas hingga saat ini ditengarai ada peningkatan wisatawan ke Dieng karena didukung Teknologi Informasi dan diversifikasi atraksi budaya. Event-event budaya yang diselenggarakan masyarakat atau pokdarwis mampu meningkatkan brand wisata di Dieng.
Destha menyebut untuk keberlanjutan pengembangan wisata Dieng di masa depan perlu dilakukan secara kolaboratif. Problem kepentingan pada dua kabupaten yaitu Wonosobo dan Banjarnegara perlu dijembatani dengan mendorong pemerintah provinsi Jawa Tengah membuat manajemen pariwisata berupa Dieng Tourism Board.
“Dengan adanya semacam Lembaga Dieng Tourism Board, semua pihak duduk bersama dan melakukan pengembangan destinasi dan industri wisata di Dieng. Mengembangkan infrastruktur dan pengendalian lingkungan, pengembangan SDM dan kelembagan. Jadi, Dieng tidak lagi dilihat secara parsial tapi bagaimana Dieng bisa dikembangkan secara kolaboratif,” tandasnya.
Dalam webinar yang diselenggarakan Program Studi Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana UGM, Assesor Cagar Budaya Nasional, Marsis Sutopo selaku pembahas, menambahkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan Dieng sebagai kawasan cagar budaya dengan ketetapan No 007 tahun 2017. Dengan SK tersebut maka kawasan Dieng menjadi kawasan Cagar Budaya peringkat Nasional.
Menurutnya, jalan keluar pengelolaan pariwisata di Dieng di masa depan adalah dengan mempertemukan semua stekeholder, baik pemerintah, masyarakat, perguruan tinggi dan pihak-pihak lain. Mereka diharapkan bisa duduk bersama untuk berdiskusi agar bisa melahirkan semacam badan pengelola pariwisata di Dieng.
“Seperti diungkap tadi semacam Dieng Tourism Board, agar pengelolaan wisata di Dieng lebih tertata dan kondisional sehingga berkunjung ke Dieng bisa mendapatkan pengalaman yang tidak diperoleh di daerah yang lain,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Mytrip123.com