Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 diwarnai dengan isu ketidaknetralan aparatur sipil negera (ASN), baik saat masa pencalonan dan penetapan kandidat maupun saat masa kampanye. Akan tetapi, apa saja sebenarnya aspek-aspek kunci dalam innetralitas ASN itu jarang dibahas secara tuntas.
Research Centre for Poltics anf Government (PolGov), Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP), UGM melalui Laboratorium Big Data Analytics melakukan analisis big data tentang netralitas ASN Pilkada Serentak 2020. Data diperoleh melalui pelacakan portal media daring yang terentang dalam masa tujuh bulan antara tanggal 4 April hingga 6 November 2020.
Hasil analisis tersebut disampaikan oleh Wegik Prasetyo, peneliti PolGov, dalam webinar yang bertajuk “Netralitas ASN dalam Pilkada 2020” pada Senin (16/11) sore lalu. Webinar ini disiarkan secara langsung melalui saluran Youtube Department of Politic and Government – Universitas Gadjah Mada.
Berdasarkan hasil analisis, Wegik menjelaskan bahwa isu netralitas ASN ini mendapat media coverage yang cukup besar. Hal itu yakni sejumlah 8.662 artikel dari 189 portal media daring dalam kurun waktu pengambilan data tadi. Menurutnya, data tersebut mengindikasikan kuatnya perhatian publik tentang isu tersebut.
Wegik juga menjelaskan bahwa dari data tersebut menunjukkan ASN dengan kendali wilayah memiliki peluang besar untuk melakukan tindakan-tindakan yang melanggar prinsip netralitas. Hal itu sejalan dengan data Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang menyatakan bahwa camat/lurah termasuk banyak melakukan pelanggaran (selain pejabat fungsional, jabatan pimpinan tinggi, administrator, dan pelaksana). Selain itu, secara lingkup wilayah, kabupaten/kota paling banyak menjadi sorotan dibanding provinsi selaras dengan sorotan bupati/walikota yang lebih besar dibanding gubernur.
Hal selanjutnya yang menjadi temuan Wegik adalah banyaknya pelanggaran netralitas di media sosial oleh ASN. Ia menyebut ketidaknetralan tersebut ditunjukkan dengan bukti adanya ASN yang menyukai, membagikan, hingga membuat postingan kampanye kandidat.
Temuan terakhir Wegik dari analisis tersebut yaitu terdapat pergeseran isu netralitas dalam masa pendaftaran dan kampanye. Dalam masa pendaftaran, isu netralitas sering dikaitkan dengan relasi pencalonan, baik ASN mendekati parpol ataupun parpol yang mendekati ASN. Sedangkan dalam masa kampanye, isu netralitas dikaitkan dengan indikasi keberpihakan kepada salah satu kandidat.
Terkait media coverage, Dr. Abdul Gaffar Karim, Dosen DPP UGM, yang hadir sebagai pembicara, menanggapi bahwa hal itu juga tergantung nilai dari masing-masing daerah. Ia menyebut minat media tersebut kebanyakan murni eksposur saja. Sementara untuk daerah-daerah yang lebih rentan, pejabat bisa saja memegang kendali di sana.
Kemudian, Sutrisno Wati, Anggota Bawaslu DIY, yang turut hadir sebagai pembicara, menyebut hasil analisis dari PolGov tadi sejalan dengan penelitian yang sedang dijalankannya sebagai Bawaslu. Dari temuannya juga sesuai, bahwa sejauh ini paling banyak aduan terkait netralitas ASN adalah pemberian dukungan melalui medsos, yakni sebanyak 218 dugaan kasus. Aduan lain sehubungan netralitas , yakni yang cukup tinggi juga adanya ASN mengikuti acara silaturahmi, sosialisasi, serta bakti sosial paslon atau parpol.
Terakhir, Prof. Agus Pramusinto, Ketua Komisi ASN, menyebut bahwa dari pengalamannya bertemu para ASN maupun politisi, isu netralitas ini terkesan ambigu. Dari ASN, mereka selalu mengatakan bahwa pihaknya tidak punya pilihan karena para politisi selalu menyeret-nyeret mereka ketika ada pemilu. Sementara, dari politisi mengaku bahwa ini bukan salah mereka. Hal itu karena ketika politisi tadi mencalonkan diri, menurut pihaknya, ASN-lah yang datang berbondong-bondong menawarkan dukungan.
“Istilahnya setor muka dulu kalau sukses jadi, suatu saat bisa dapat jabatan. Atau paling tidak, mereka merasa punya koneksi sehingga dipermudah jenjang karirnya,” terangnya.
Agus juga mengemukakan pandangannya terkait pelepasan hak pilih bagi para ASN sebagai solusi netralitas ini. Ia mewakili Komisi ASN menolak ide tersebut karena yang dikejar oleh para calon bukan sekedar suara ketika nyoblos, melainkan resources yang dimiliki para ASN seperti contoh tadi.
“Lagipula jika mempertimbangkan kualitas pemilih, ASN masih terbilang sebagai well-educated people. Jika mereka dicabut hak pilihnya, maka akan menjadi rentan karena sisanya kelompok kelas bawah lebih mudah dipengaruhi. Maka dari itu, dari kami memutuskan bahwa ASN boleh menyalurkan suaranya, tetapi hanya di bilik suara saja. Bukan di medsos atau bahkan menjadi juru kampanye. Jika sudah sampai menjadi jurkam dan punya kartu anggota partai, kami sarankan untuk mengundurkan diri saja,” pungkasnya.
Penulis : Hakam