Penduduk miskin di DIY pada Maret 2020 mencapai 475.072 ribu orang atau 12,28 dari total jumlah penduduk yang mencapai 3,2 juta oran. Persentase penduduk miskin ini termasuk berada di atas angka rata-rata nasional 9,78 persen. Jumlah penduduk miskin terbesar ini berada Kabupaten Gunungkidul 18,30 persen, Kulon Progo 17,12 persen dan Bantul 13,43 persen.
“Hanya Sleman dan Kota Yogyakarta berada di angka di bawah rata-rata nasional,” kata Direktur Pengabdian kepada Masyarakat UGM, Prof. Irfan Priyambada, dalam seminar online yang diselenggarakan oleh Dewan Guru Besar (DGB) UGM yang bertajuk Peran Universitas Gadjah Mada dalam Pembangunan di DIY, Jumat (20/11).
Irfan menyebutkan kemiskinan menjadi salah satu persoalan pembangunan yang belum mampu diselesaikan secara tuntas hingga kini. Meski pemerintah melakukan berbagai program untuk mengentaskan kemiskinan. Menurutnya, akar permasalahan keluarga miskin perlu diidentifikasi dengan baik agar mendapat penanganan lewat program yang lebih tepat. “Akar permasalahan kemiskinan belum teridentifikasi sehingga penanganan menjadi kurang tepat. Meski ada upaya pemberian dana stimulan untuk keluarga miskin,” kata Irfan.
Menurut Irfan, UGM menurutnya juga ikut andil dalam pengentasan keluarga miskin di DIY melalui kegiatan penerjunan mahasiswa KKN PPM. Salah satu program kerja para mahasiswa adalah meneliti penyebab angka kemiskinan dan program pendampingan UMKM. Menurutnya, perlu upaya secara bersama-sama menciptakan lapangan kerja baru bagi keluarga miskin.
Irfan menyebutkan contoh penelitian dari mahasiswa KKN PPM UGM terhadap keluarga miskin penderes gula kelapa di daerah pegunungan Menoreh Kulon Progo yang bertambah miskin saat memasuki usia lebih lanjut. “Mereka miskin saat bertambah tua karena penderesnya sudah tua. Dulu bisa jadi bisa menderes 10-15 pohon, sekarang hanya 5 pohon,” katanya.
Kegiatan lain yang dilakukan oleh UGM menurut Irfan adalah mendorong kembali kecintaan masyarakat pada pertanian.
“Kecintaan pada pertanian dibangun kembali, seperti yang dilakukan Fakultas pertanian UGM melakukan pengembangan kedelai dengan teknologi inokulasi dengan mengarahkan sivitas akademika, baik profesor, doktor dan mahasiswa pun turun,” katanya.
Namun demikian, menurut Irfan apa yang dilakukan oleh UGM tidak bisa dengan sendiri, namun perlu melibatkan kampus lain di DIY untuk melakukan hal yang sama atau berkolaborasi dalam program pengentasan kemiskinan.
Asisten Perekonomian Setda DIY, Tri Saktiana, mengatakan selain masalah kemiskinan, DIY juga menghadapi pertumbuhan ekonomi yang melambat akibat pandemi Covid-19 sehingga berdampak bagi kondisi perekonomian DIY. “Pada triwulan pertama kita minus 0,16 dan pada triwulan kedua minus 6,72, lalu di triwulan ketiga minus 2,84. Dua triwulan berturut turut tidak positif disebut kita mengalami resesi,” katanya.
Meski jumlah angka persentase kemiskinan bertambah, namun Indek Pembangunan Manusia (IPM) DIY justru sebaliknya berada di atas rata-rata nasional. Ia menyebutkan IPM berada di angka 79,99, sedangkan angka nasional 71,92. Selanjutnya Indek Pembangunan Kebudayaan tertinggi nasional 73,39, dibanding rata-rata nasional di angka 53,74.
Menurut Tri Saktiana pertumbuhan ekonomi DIY saat ini ditopang oleh sektor industri skala rumah tangga dan pertanian, pariwisata dan sektor pendidikan. Oleh karena itu, ia mengharapkan UGM bisa menjadi trendsetter pembangunan ekonomi di Yogyakarta lewat program pendidikan, riset dan pengabdian kepada masyarakat.
Penulis : Gusti Grehenson