Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM, Zaenur Rohman, menyebut tidak ada urgensi perubahan struktur KPK sebagaimana yang diatur dalam Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2020.
Ia bahkan menyebut perubahan ini melanggar ketentuan dalam Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002 juncto Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019, yang telah mengatur organisasi serta tata laksana internal KPK.
“Saya katakan ini melanggar karena dalam UU KPK sudah diatur mengenai bagian-bagian dan bidang-bidang KPK. Perkom Nomor 7 ini mengubah sedemikian rupa kelembagaan KPK dan melenceng jauh dari UU KPK,” ucapnya, Senin (23/11).
Perubahan struktur KPK, ungkapnya, sangat drastis dan tidak diperlukan. Zaenur memandang tidak ada urgensi perubahan struktur KPK kecuali untuk beberapa hal yang selama ini memang dibutuhkan, misalnya terkait pengaturan bagian koordinasi dan supervisi.
Perubahan ini, lanjutnya, mengarah pada suatu bentuk organisasi yang sangat gemuk, yang justru akan membebani anggaran KPK.
“Akan ada ruang jabatan baru yang harus diisi, ini artinya menambah beban belanja pegawai semakin besar,” paparnya.
Di samping itu, dengan semakin banyaknya rentang jabatan yang dimiliki KPK, hal ini akan memperlambat gerak KPK dalam menjalankan fungsi-fungsinya.
Menurut Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2020, terdapat 24 jabatan baru di KPK dan 16 nama jabatan lama yang dihapus. Jabatan baru yang ditambahkan di antaranya meliputi Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat, Direktorat Antikorupsi Badan Usaha dan Akreditasi, Pusat Perencanaan Strategis Pemberantasan Korupsi, Inspektorat, dan Staf Khusus.
Dari struktur jabatan ini, terdapat sejumlah redundansi, misalnya dalam pengaturan lembaga inspektorat yang selama ini fungsinya telah dilakukan oleh Direktorat Pengawasan Internal di bawah Deputi PIPM. Meski dikatakan bahwa fungsi masing-masing jabatan bisa diatur agar tidak saling tumpang tindih, hal ini tetap dinilai sebagai sebuah bentuk pemborosan.
Selain itu, staf khusus juga dinilai tidak diperlukan dalam organisasi KPK yang memegang prinsip pengambilan keputusan secara kolektif kolegial.
“Selama ini dengan kepemimpinan tersebut bisa dirumuskan suatu kebijakan yang mengakomodasi banyak pikiran sehingga kebijakan lahir dari musyawarah bersama, bukan dari satu orang. Menurut saya ini redundansi tugas,” paparnya.
Struktur baru KPK, menurutnya, menjauh dari bentuk institusi modern yang ramping menuju model institusi yang gemuk seperti yang bisa ditemukan pada sejumlah kementerian dan lembaga.
“Peraturan ini selain melanggar ketentuan UU KPK, menyebabkan institusi KPK menjadi gemuk, membebani anggaran, dan banyak redundansi, ini merupakan suatu langkah mundur. Ini berasal dari gaya-gaya kementerian dan lembaga lain yang dibawa masuk oleh pimpinan KPK yang sekarang,” kata Zaenur.
Penulis: Gloria