Idealnya sebuah destinasi wisata yang dibangun dengan basis warisan budaya seperti Kawasan Keraton Ratu Boko, harus bisa memberikan kesejahteraan pada masyarakat. Sayangnya, kawasan Keraton Ratu Boko belum sepenuhnya menjadi penolong bagi masyarakat miskin yang ada di sekitarnya. Faktanya, Kecamatan Prambanan sendiri saat ini memiliki sekitar 12,53 persen atau 2.315 KK miskin. Sebarannya, Sumberharjo (625 KK), Wukirharjo (185 KK), Gayamharjo (275 KK), Sambirejo (325 KK), Madurejo (530 KK) dan Bokoharjo (375 KK).
Padahal, realisasi keuangan dalam tahun 2019 menunjukkan laba setelah pajak sekitar 100,71 persen dari target dari pengelolaan Taman Wisata Candi Borobudur, Candi Prambanan, Keraton Ratu Boko dan unit-unit usaha lainnya.
Hal ini mengemuka dalam Seminar Series Kepariwisataan, Selasa (1/12) dengan tema: ‘Pariwisata Warisan Budaya Di Kawasan Keraton Ratu Boko, Ketimpangan Dalam Pengelolaan?’.
Seminar Series Kepariwisataan diadakan oleh Program Studi Kajian Pariwisata Sekolah Pasca Sarjana (SPS) UGM. Pemantik diskusi adalah Prof. Dr. Ir. Chafid Fandeli, M.S sebagai penanggap bersama dengan Ari Setyaningsih dan Indung Panca Putra dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta (BPCB DIY) dengan moderator Dr. Yulia Arisnani Widyaningsih, MBA, Ph.D.
Dr. Maria Tri Widayati, alumni S3 Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana UGM, yang saat ini menjadi dosen di Politeknik “API” Yogyakarta pada acara itu menyoroti permasalahan pengelolaan Kawasan Keraton Ratu Boko yang selama ini dinilai belum maksimal menghadirkan kesempatan berusaha dalam bidang pariwisata pada masyarakat.
Ia mengatakan bawah hal krusial yang menjadi penyebab pengelolaan Candi Ratu Boko belum maksimal adalah terpusatnya pengelolaan oleh PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko. Bahkan, dapat dikatakan monopoli PT. Taman Wisata Candi sangatlah besar. Setidaknya itulah yang disampaikan oleh masyarakat saat Dr. Maria melakukan interview dan focus group discussion.
“Permasalahan lain yang perlu mendapatkan perhatian, seperti persoalan penguasaan tanah di situs Keraton Ratu Boko yaitu zona 1 yang seharusnya steril masih ada pemukiman warga kemudian masyarakat setempat merasa tidak pernah dilibatkan dalam pengelolaan dan petugas di pintu masuk yang tidak memberikan toleransi kepada warga,”papar Maria.
Selain itu, permasalahan juga terjadi antara pengelola. Misalnya, pengelola berasal dari kementerian yang berbeda, serta kepentingan yang berbeda pula, PT TWC BPRB belum sepenuhnya melibatkan pemangku kepentingan lain dalam pengelolaan Taman Wisata Keraton Ratu Boko, terjadi ketidakseimbangan antara pelestarian dan pemanfaatan dan koordinasi di tingkat bawah/lapangan yang masih rendah.
Secara detail, Dr. Maria menguraikan bahwa BPCB tidak memperoleh pendapatan langsung dari PT. Taman Wisata Keraton Ratu Boko, namun mendapatkan dana pengelolaan secara tidak langsung melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman sebesar 500 juta/tahun untuk perlindungan dan pelestariannya. Ironisnya mulai tahun 2015/2016 anggaran untuk pelestarian tersebut dihentikan.
“Jadi, BPCB DIY tidak lagi mendapatkan dana tersebut dalam pelestarian Kawasan Keraton Ratu Boko. Sedangkan gaji Direktur utama serta Direktur PT TWC BPRB berkisar sekitar 100.000.000 – 120.000.000 per bulan,”imbuhnya.
Ia menilai sebuah situs warisan budaya yang dikelola untuk pariwisata harus tetap bisa dilestarikan, dan harus bisa memberikan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, masih ada satu tahapan lagi yaitu membuka akses kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pariwisata sehingga sama sama mendapatkan keuntungan dari pariwisata dan bersama-sama pula menjaga agar situs tetap lestari.
Prof. Dr. Ir. Chafid Fandeli, M.S sebagai pembahas mengatakan bahwa sebenarnya Kawasan Keraton Ratu Boko secara ekologis berada di tempat yang tepat, tidak seperti Prambanan yang sering banjir. Seolah olah arsitek zaman dulu telah mengerti ilmu fisika lingkungan ‘hukum bejana berhubungan’ yaitu ada air diantara bukit bukit. Cerita cerita seperti inilah yang sebenarnya perlu untuk disampaikan kepada pengunjung dan generasi muda.
Prof. Heddy sebagai peserta diskusi menyoroti pentingnya mengintegrasikan prasasti dan situs arkeologi yang ada di sekitar Boko dan Prambanan. Lalu, dirangkum dan dimasukkan dalam ‘story telling’ yang tepat sehingga lebih menarik bagi wisatawan dan generasi muda.
Penulis: Satria
Foto: Republika.co.id