Pakar Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan FISIPOL UGM, Hempry Suyatna, menyebutkan kasus korupsi dana bansos yang terjadi di Kementerian Sosial (Kemsos) merupakan sebuah ironi. Sebab, di tengah banyaknya masyarakat yang kesulitan karena pandemi Covid-19, ternyata ada pejabat negara yang melakukan korupsi atas bansos.
“Bahkan, di lapangan masih banyak terjadi justru banyak masyarakat yang tidak mendapatkan bansos karena alasan salah sasaran. Perlu evaluasi atas komitmen pejabat terhadap rakyat,” katanya sata dihubungi Senin (7/12).
Agar peristiwa serupa tidak terulang kembali, Hempry menegaskan perlunya pengawasan ketat dan tegas. Mekanisme tender atau penunjukkan langsung perlu dirubah karena sangat rentan menyebabkan terjadinya kasus korupsi politik. Dengan kondisi politik Indonesia yang cenderung bernuansa politik transaksional dan balas budi seringkali menjadi celah korupsi politik masih terus terjadi.
Untuk meminimalkan risiko penyelewangan dana bansos, lanjutnya, juga dapat dilakukan dengan merubah mekanisme penyaluran bansos. Penyaluran dalam bentuk barang yang selama ini dilakukan pemerintah melalui Kemsos diubah dalam bentuk uang kas atau cash transfer.
“Dengan cash transfer memungkinan transparansi penyaluran bansos bisa lebih dipertanggungjawabkan,” terangnya.
Upaya berikutnya yaitu dengan terus memperbarui data penerima bantuan. Sebab, selama ini validasi dan verifikasi data penerima bansos di tanah air masih belum dilakukan dengan baik sehingga memicu program salah sasaran dan berpotensi terjadi korupsi politik.
Rampas Harta Koruptor
Sementara Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM mengapresiasi kinerja KPK yang telah melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) kepada sejumlah pejabat di jajaran Kementrian Sosial yang juga melibatkan Mensos Juliari Peter Batubara.
Peneliti PUKAT UGM, Yuris Rezha Kurniawan, mengatakan meskipun di tengah kewenangan yang cukup terbatas, KPK masih tetap bisa menunjukkan kinerjanya.
“KPK masih mampu menunjukkan kinerjanya meski dengan kondisi UU KPK yang membatasi beberapa kewenangannya,” tuturnya saat dihubungi secara terpisah.
Yuris menyebutkan bahwa dana bansos sangat rawan dikorupsi. Pasalnya, tata kelola bansos di tanah air masih cenderung minim transparansi dan akuntabilitas. Terlebih di masa bencana/ pandemi saat ini, alasan untuk percepatan dilakukan dengan menerobos prinsip-prinsip pengelolaan bansos yang berasal dari uang negara.
“Belum lagi persoalan bansos yang kerap dijadikan kampanye terselubung misalnya oleh calon kepala daerah di era pilkada. Dana Bansos yang bersumber dari APBN/APBD disetting seolah-olah menjadi bantuan perseorangan/ calon kepala daerah,” paparnya.
Sementara itu, terkait ancaman hukuman mati bagi pelaku korupsi bansos, Yuris mengatakan bahwa UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) telah mengatur ketentuan tersebut. Dalam pasal 2 telah ditetapkan bahwa korupsi dana penanganan bencana bisa dijatuhi hukuman mati.
Namun demikian, hukuman mati yang dimaksudkan pada pasal 2 terkait korupsi kerugian keuangan negara. Sedangkan sangkaan KPK terhadap dugaan korupsi bansos di lingkungan Kemsos masuk kedalam pasal suap atau gratifikasi.
“Sebenarnya kami di PUKAT melihat hukuman mati bukan satu-satunya pilihan. Masih ada alternatif lain yang lebih efektif untuk memberikan efek jera pelaku korupsi misalnya perampasan aset koruptor dan itu harus lebih dimaksimalkan,” urainya.
Penulis: Ika
Foto: ANTARA FOTO/detikfinance