Pilkada Serentak 2020 akan berlangsung Rabu (9/12) di tengah pandemi Covid-19. Untuk meminimalkan potensi penyebaran Covid-19, sejumlah langkah antisipasi termasuk penerapan protokol kesehatan harus dijalankan oleh pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Peneliti Research Centre for Politics and Government (PolGov) Departemen Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM, Wegik Prasetyo, memaparkan sejumlah poin Rencana Tindak Lanjut (RTL) yang menjadi rekomendasi dalam pelaksanaan pemilihan pada 9 Desember 2020, salah satunya terkait upaya pencegahan penularan Covid-19 di TPS oleh KPU sebagai penyelenggara pemilu.
“KPU sebagai penyelenggara pemilu akan melakukan upaya pencegahan penularan Covid-19 di TPS melalui pengurangan jumlah pemilih di setiap TPS menjadi paling banyak 500 orang, dari sebelumnya 800 orang, dan mengatur secara detail penerapan protokol kesehatan,” paparnya melalui rilis tertulis, Senin (7/12).
Protokol ini, imbuhnya, termasuk penyemprotan disinfektan secara berkala di TPS, pengukuran suhu pemilih, melengkapi kelengkapan TPS seperti tempat cuci tangan, sarung tangan plastik dan medis, tempat sampah, alat tetes tinta, masker dan faceshield, alat pengukur suhu tubuh, dan penggunaan baju hazmat.
Poin-poin tersebut merupakan hasil rekomendasi dari Webinar KPU Goes to Campus bertajuk “Pilkada di Tengah Pandemi: TPS Sehat, Pemilih Selamat” yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Istimewa Yogyakarta dan Universitas Gadjah Mada.
Webinar ini sendiri merupakan putaran terakhir dari rangkaian sosialisasi ke berbagai kampus di DIY yang bertujuan untuk menguatkan kesadaran dan merumuskan langkah-langkah keterlibatan mahasiswa beserta seluruh sivitas akademika UGM.
Hal ini dimasudkan agar penyelenggaran pilkada 2020, khususnya yang diselenggarakan di DIY, dapat berjalan dengan baik dan memperhatikan penerapan protokol kesehatan.
Wegik menambahkan, berdasarkan PKPU No 6. 2020, setidaknya ada enam protokol kesehatan di TPS yang harus dijalankan oleh pemilih, yaitu menjaga jarak aman dan menimimalkan kontak fisik, mencuci tangan, menggunakan masker yang menutupi dari hidung hingga dagu, melakukan pengecekan suhu badan, menggunakan sarung tangan sekali pakai yang diberikan petugas, dan membawa alat tulis.
Selain aspek pelaksanaan pemilihan, aspek pasca pemilihan juga menjadi penting. Monitoring perlu dilakukan kepada para aktor yang intensif di lokasi pemungutan suara seperti KPPS dan saksi.
“KPU DIY dapat membuat surat edaran kepada para KPPS dan saksi untuk melakukan isolasi mandiri dan tes kesehatan jika diperlukan. Selain itu, KPU DIY juga harus mempunyai data detail seperti nomor handphone dan alamat rumah untuk memudahkan proses tracing,” terangnya.
Di samping itu, KPU DIY juga harus berkoordinasi dengan satgas Covid-19 setempat untuk melakukan pemantauan pasca pilkada hingga dua minggu setelahnya. KPU, misalnya, dapat menyosialisasikan call centre yang dapat dihubungi jika terjadi gejala-gejala Covid-19 pasca pemilihan.
Pengawasan kolektif terhadap penerapan protokol kesehatan juga perlu dilakukan tidak hanya oleh penyelenggara pemilu ataupun otoritas terkait, namun juga oleh peserta pemilu dan pemilih.
Wegik menerangkan, masyarakat DIY yang dikenal memiliki modal sosial yang kuat dan telah teruji dalam berbagai peristiwa bencana alam dapat dioptimalkan untuk mendorong adanya pengawasan kolektif untuk meminimalkan potensi negatif penyebaran Covid-19 sebagai bencana non-alam.
Mahasiswa, misalnya, dapat didorong untuk mengampanyekan pengawasan kolektif dengan terjun di tempat pemungutan suara (TPS) di sekitar tempat tinggal.
“Mahasiswa juga didorong untuk menginisiasi pemberian masker dan cairan pembersih tangan kepada warga yang belum menerapkan protokol kesehatan baik sebelum dan setelah memberikan suara di TPS,” ucapnya.
Penulis: Gloria