Sekitar 25,4 % dari 680 ribu atau 174 ribu jiwa penduduk Kabupaten Gunung Kidul merupakan masyarakat miskin. Padahal keseluruhan luas wilayah DIY, sekitar 46 % dimiliki Kabupaten Gunung Kidul. Sedangkan jumlah usia buta huruf cukup tinggi sekitar 47 ribu orang untuk usia 15-60.
Kesemua ini menurut Bupati Gunung Kidul, Suharto, SH disebabkan adanya kesenjangan spasial di wilayah Gunung Kidul sehingga ada wilayah-wilayah yang terbelakang, dan salah satunya adalah daerah Wonolagi.
“Kondisi masyarakat Wonolagi selama ini sangat terisolasi karena keadaan alam, padahal Indonesia sudah 61 tahun merdeka, tapi lewat Dr. Ir. Kustantinah I.S Adiwimarta, DEA selama dua tahun masyarakat Wonolagi telah dimerdekakan dari isolasi,†ungkap Suharto,SH dalam sambutan peresmian jembatan Prahon (jembatan gantung) yang menghubungkan dusun Wonolagi dengan Kalinampu, Rabu (4/4) di kecamatan Pathuk, Kabupaten Gunung Kidul.
Suharto dalam sambutan peresmian jembatan gantung ini menyebutkan Dr. Ir. Kustantinah I.S Adiwimarta, DEA sebagai “Ibu Kartini†nya UGM. Sebab kata Suharto, melalui tangan dinginnya, dalam waktu 8 bulan mampu membangun jembatan untuk membuka akses masyarakat Wonolagi agar bisa berhubungan dengan masyarakat luar.
“Beliau ini pendiam, tapi kekuatannya seperti buldozer, saya saja yang tahun 80-an punya idaman membuat jembatan sesek (jembatan kecil dari bambu) buat masyarakat Wonolagi sampai hari ini belum terlaksana, namun Ibu Kustantinah bersama timnya, belum ada 2 tahun telah memerdekakan Wonolagi,†ucap Suharto berapi-api.
Suharto menambahkan, jika sekarang akses jalan ke Wonolagi sudah dibuka maka diharapkan kesenjangan kemiskinan dapat dikurangi dan kesejahteraan masyarakat pun dapat terangkat.
Jembatan yang dibangun di atas sungai Oya ini, berawal dari ide para staff Peternakan yang punya pemikiran untuk mengusahakan suatu jembatan penyeberangan yang sederhana sehingga dapat menolong penduduk ke sekolah, ke pasar dan memfasilitasi masyarakat untuk ke ladang
“Saat rombongan kita melakukan program pendampingan pengembangan peternakan kambing dan ayam ke Wonolagi, banyak mengalami kesulitan dalam hal transportasi. Jika musim hujan, sungai Oya pasti banjir dan tidak mungkin dilalui. Tidak jarang para rombongan harus berputar dengan berjalan kaki selama 3 sampai 4 jam untuk dapat bisa melintasi sungai,†ujar Dr.Kustantinah I.S Adiwimarta, DEA selaku koordinator tim pembangunan jembatan gantung Prahon ini.
Menurut Kustantinah, sudah 20 tahun, jumlah kepala keluarga di wonolagi hanya berkisar 55 kepala keluarga, dengan fasilitas sebuah Sekolah Dasar yang diisi dengan 23 siswa.
Jembatan Prahon, kata Kustantinah memiliki panjang 80 M dan lebar 1,70 M, menghabiskan dana sebeasar 622 juta, yang pembangunannya sudah dimulai sejak Juni 2006. “Kita melakukan kerjasama dengan berbagai pihak untuk mencari sumber dana diantaranya dengan Rotary Club (RC) Internacional, RC Yogyakarta dan RC Westhill, UK, serta PT. Apexindo Pratama Duta†ujar Dosen Fakultas Peternakan UGM ini.
Sedangkan Prof. Dr. Retno Sunarminiigsih, M.Sc, Apt, Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UGM yang ikut hadir dalam peresmian itu menyatakan bahwa program pendampingan pemberdayaan masyarakat yang dikoordinatori oleh Dr.Ir Kustantinah merupakan salah satu upaya untuk merealisasi upaya UGM untuk melakukan sinergi UGC (University-Government-Community) yakni kerjasama UGM dengan pemerintah dan komunitas masyarakat. (Humas UGM)