Presiden Joko Widodo akhirnya merombak Kabinet Indonesia Maju. Sebanyak enam kementerian mendapat pemimpin baru dengan sebagian besar di antaranya merupakan wajah baru.
Dua kementerian yang paling banyak mendapatkan sorotan publik yakni Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) dan Kementerian Sosial (Kemensos) akhirnya memiliki pemimpin baru setelah para menteri sebelumnya tersandung kasus korupsi.
Melihat hal tersebut Pakar Politik Universitas Gadjah Mada, Abdul Gaffar Karim, sepakat bila pergantian menteri karena banyak ragam penyebab. Selain alasan dua menteri tersebut di atas, pergantian dilakukan karena ada menteri yang sering menimbulkan kontroversi.
Seperti Menteri Kesehatan, misalnya, hingga memicu konflik dengan IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Ada juga pergantian yang dikarenakan tidak bisa menterjemahkan ide Presiden Jokowi, seperti Kementerian Pariwisata antara upaya mencari income dan mencegah sebaran pandemi Covid-19.
“Banyak ragam penyebab kenapa mereka diganti. Kalau seperti Kemenag terlihat politis sekali karena sudah mentradisi kementerian ini banyak dipegang NU tetapi sebelumnya porsi itu diberikan TNI,” katanya, Rabu (23/12) melalui sambungan telepon.
Menurut Gaffar, soal pergatian kabinet ini yang terpenting adalah apakah presiden betul-betul bisa mengendalikan dan mengkoordinasikan sehingga langkah-langkah menteri-menteri baru sepenuhnya dalam kendali presiden. Sebab, soal bagus dan tidaknya tetap harus bersabar menunggu hasil kinerjanya.
“Kita belum tahu track recordnya mereka memiliki itu dulu yang dijalani tapi belum dalam kewenangan yang sekarang mereka punya. Jadi, baik tidaknya kita tunggu,” ucapnya.
Yang menarik dalam pergantian kali ini, kata Gaffar, kebiasaan Presiden Jokowi memasukkan rival atau orang-orang yang dahulu mengkritisi ke dalam radar dan orbit pemerintahannya sehingga orang atau kelompok politik yang dahulu berseberangan diberikan ruang dalam pemerintahan.
“Ini di satu sisi bagus untuk efektivitas pemerintahan tetapi tidak bagus dilihat perlunya kontrol, bagaimanapun pemerintahan perlu keseimbangan untuk dikontrol,” jelasnya.
Menurutnya, jika pihak-pihak yang berseberangan kini sudah masuk kabinet maka untuk pengawasan tinggal berharap pada DPR-RI dalam menjalankan fungsi chek and balances terhadap pemerintahan. Di luar itu, harapan pengawasan satunya lagi adalah kepada civil-society.
Gaffar berharap kebiasaan merangkul rival masuk ke dalam pemerintahan hanya berlaku di era Presiden Jokowi saja. Kondisi semacam ini diharapkan tidak terjadi di era presiden berikutnya, sebab bagaimanpun demokrasi perlu penyeimbang.
Ia menegaskan sistem presidensiil perlu penyeimbang yang tegas antara eksekutif dan legislatif. Jika kekuatan-kekuatan yang berseberangan seperti yang terlihat dalam relasi pilpres, misalnya, kemudian ditundukkan maka demokrasi kehilangan penyeimbang, dan ini berpotensi memunculkan pemimpin yang aristokratik.
“Ini tidak cukup bagus untuk demokrasi di Indonesia. Dengan kondisi seperti ini maka kontrol masyarakat melalui gerakan mahasiswa, kampus jangan ikut-ikut tunduk. Jangan ikut terpangku gaya politik Jokowi, harus ada suara-suara alternatif agar pemerintah tetap terawasi oleh masyarakat,” tandasnya.
Sementara itu, Rektor UGM, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., IPU, Asean. Eng., memberikan apresiasi atas dilantiknya Prof. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM. Ia berharap Prof. Eddy Hiariej mampu mengemban amanah ini sebaik-baiknya dan mampu memenuhi harapan masyarakat.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : DetiksNews