Solusi ini, terangnya, bisa berupa pengembangan komoditas lokal yang dapat dijadikan substitusi kedelai, di samping terus berupaya meningkatkan produksi kedelai dalam negeri.
“Untuk membuat tempe tidak harus dengan kedelai, ada kacang-kacangan lain seperti koro pedang yang cukup baik dikembangkan di daerah tropis seperti Indonesia untuk substitusi kedelai impor,” paparnya.
Jamhari menerangkan, kedelai sendiri merupakan tanaman yang secara alamiah dapat berproduksi secara maksimal di daerah subtropis sehingga cukup wajar jika produktivitas panen kedelai di Indonesia tidak sebaik negara-negara produsen utama kedelai.
Sejumlah varietas kedelai yang ditanam di Indonesia sebenarnya memiliki potensi produksi yang cukup tinggi, namun selama ini masih terdapat celah antara potensi dengan jumah produksi riil.
Salah satu penyebab rendahnya jumlah produksi kedelai di Indonesia, terangnya, adalah minimnya lahan pertanian. Solusi jangka pendek untuk persoalan ini adalah mengintegrasikan pertanian kedelai dengan lahan tanaman perkebunan dan kehutanan.
“Secara umum Indonesia dihadapkan pada permasalahan lahan untuk pangan yang sangat terbatas. Termasuk untuk kedelai, yang mengusahakan bukan perusahaan besar tetapi petani kecil yang kurang lahan,” kata Jamhari.
Di sisi lain, pengembangan industri produk substitusi menurutnya dapat menjadi salah satu solusi jangka panjang jika diupayakan secara serius oleh pihak-pihak terkait, termasuk di antaranya pemerintah dan pelaku industri.
Pengembangan varietas seperti koro pedang, terangnya, belum mencapai produktivitas yang maksimal karena kurangnya keseriusan dalam mengembangkan substitusi dari kedelai impor. Padahal, ujung tombak dari upaya ini seharusnya terletak pada mereka yang memiliki sumber daya teknologi dan kemampuan untuk mengembangkan produk pertanian yang sesuai dengan iklim Indonesia.
Dengan komitmen yang baik, ia yakin Indonesia mampu mengatasi masalah ketergantungan akan kedelai impor.
“Bisa, tapi harus serius. Sama seperti gandum yang menjadi bahan baku mi pun bisa disubstitusi dengan tepung ubi kayu, tapi komitmen ke situ belum serius,” katanya.
Dari sisi kebijakan, pemerintah dapat mendorong pengembangan substitusi kedelai melalui kebijakan terkait kandungan lokal atau local content, misalnya mensyaratkan penggunaan bahan baku lokal sebesar 60 persen sehingga industri akan melirik bahan baku pengganti kedelai yang dapat diproduksi di dalam negeri.
Di samping itu, diperlukan rekayasa supply chain dengan pengelompokan petani kecil sebagai penyuplai di dalam suatu sistem yang telah terbangun.
“Petani kecil jangan dibiarkan sendiri-sendiri, harus ada kekuatan dari pemerintah yang memimpin ekonomi yang kecil ini,” imbuhnya.
Masyarakat juga didorong untuk dapat mengonsumsi bahan pangan yang diproduksi di negara sendiri, untuk mengurangi beban impor produk pangan. Keragaman hayati yang dimiliki Indonesia, terangnya, bukan sekadar untuk dijaga dan dilestarikan tetapi juga untuk dimanfaatkan sebagai sumber daya pangan yang berkelanjutan.
Karena Indonesia dapat memproduksi sumber daya pangan yang beragam maka pilihan konsumsi masyarakat pun seharusnya turut beragam, agar apa yang tersedia di alam dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri.
“Konsumsi orang Indonesia mestinya seberagam apa yang bisa diproduksi oleh kita sendiri,” pungkas Jamhari.
Penulis: Gloria