Terobosan penting telah dibuat dengan terbitnya UU 22/1999 dan UU 32/2004 sebagai babak baru penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Desain desentralisasi dan otonomi daerah secara riil telah memberikan kontribusi positif bagi perkembangan politik, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia.
Fakta di berbagai daerah memperlihatkan betapa desentralisasi dan otonomi daerah telah memberikan ruang bagi daerah untuk berinovasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang lebih baik bagi masyarakat. Kota Yogyakarta, Kota Blitar, Kabupaten Gowa, Kota Gorontalo, Kabupaten Solok, dan beberapa kabupaten/kota lain memahami apa yang diperlukan masyarakat. Di sinilah optimisme atas desentralisasi dan otonomi daerah dapat diletakkan.
Meski begitu, UU ini masih meninggalkan berbagai persoalan. Hasil diskusi Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Politik Fisipol UGM selama tahun 2008-2009 memperlihatkan terdapat ketidakjelasan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Akibatnya, para pelaku kepentingan memberikan interpretasi berbeda tentang hal mana yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Ketidakjelasan pembagian ini sering melahirkan tumpang-tindih dan tarik-menarik kewenangan antarlevel pemerintahan (pemerintah pusat dengan pemerintah daerah provinsi dengan kabupaten/kota).
Demikian beberapa pemikiran yang muncul dalam Seminar Nasional Menata Ulang Desentralisasi Indonesia dari Perspektif Daerah, yang berlangsung di University Club UGM, Senin (25/1). Seminar yang digelar oleh Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Politik Fisipol UGM ini diharapkan mampu memberikan masukan secara substantif pada pemerintah pusat dan DPR dalam proses revisi UU No. 32 Tahun 2004.
Drs. Cornelis Lay, M.A. sebagai salah satu pembicara berharap penerapan desentralisasi asimetris akan mengubah secara fundamental pola hubungan kewenangan, keuangan, dan pengawasan antara daerah dan pemerintah pusat. Berdasarkan pengalaman dari berbagai negara, seumpama Finlandia -sebagai contoh negara paling ekstrim yang menerapkan pola asimetris-, menunjukkan pola ini telah memperluas kewenangan daerah untuk isu-isu tertentu, misalnya kultural, bahasa, kewarganegaraan khusus, dan lain-lain. Selain itu, termasuk di dalamnya keleluasaan dalam hal keuangan, yakni ketika daerah (Lands Islands) dapat menentukan budget tahunan dan penarikan pajak.
Dalam makalah “Desentralisasi Asimetris bagi Indonesia”, Cornelis Lay memberikan contoh model pengembangan kapasitas ekonomi lokal di Kunshan. Ia menunjukkan bagaimana desain asimetrisme lahir sebagai respon terhadap perkembangan ekonomi regional. Formasi transformasi kelembagaan pada level nasional dan lokal sangat diperlukan guna memberikan kepastian otoritas bagi daerah untuk lebih maju berikut implikasi-implikasi teknokratisnya. “China dengan model administrasi satu atap telah memberikan contoh bagaimana memotong mata rantai birokrasi yang panjang dalam perizinan,” jelasnya.
Disimpulkan oleh Cornelis Lay, pengalaman berbagai negara memastikan rancang bangun kelembagaan di tingkat lokal tidak lagi dapat bertumpu pada “kebiasaan tradisional” yang bersifat “tunggal” dengan batas administrasi pemerintah sebagai satu-satunya batasan, tetapi mengalami pergeseran ke arah pengaturan yang bersifat “kewilayahan” dengan mengikuti logika kerja sistem beserta berbagai variasi basisnya.
Seminar yang didukung oleh DRSP-USAID dan CSO Forum ini juga menghadirkan pembicara Gabe Ferazzi (penulis Stock Taking Study Update 2009, DRSP), Prof. Dr. Ryaas Rasyid, Proyatno Harsasto (Undip), Dr. Eddy Purnama (Universitas Syah Kuala Aceh), Drs. Sidik R. Usop, M.S. (Universitas Palangkaraya), Bambang Sugiono, S.H., M.H. (Universitas Cendrawasih, Papua), dan Dr. Kausar Bailussy (Universitas Hasanuddin, Makassar). Tampak hadir pula Rektor UGM, Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D., yang membuka seminar, dan Dirjen Otda, Dr. Sodjuangon Situmorang selaku pembicara kunci mewakili Menteri Dalam Negeri RI. (Humas UGM/Agung)