Pemerintah pusat berencana menerapkan PSBB ketat untuk sejumlah wilayah/kota di Jawa dan Bali mulai 11-25 Januari 2021. Kebijakan tersebut berdasarkan rapat terbatas di Kantor Presiden sebagai bagian dari upaya pengendalian kasus Covid-19 yang masih tinggi di Indonesia.
Menurut epidemiolog UGM, Bayu Satria Wiratama, MPH., sudah selayaknya pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut, mengingat tingginya angka kasus aktif Covid-19 di Indonesia akhir-akhir ini. Belum lagi tingginya angka keterisian tempat tidur di rumah sakit/ fasilitas kesehatan serta tingginya angka kematian yang terjadi.
“Faktor utamanya adalah mobilitas warga saat libur akhir tahun kemarin ditambah banyak daerah tidak berhasil melakukan penanganan Covid-19 sehingga kasusnya menjadi naik dan dikhawatirkan jika tidak direm maka keterisian RS akan mendekati 100 persen dan ini akan semakin menyusahkan masyarakat yang membutuhkan perawatan di RS dan naiknya angka kematian,” ujarnya, Kamis (7/1)
Sementara soal merebaknya varian baru Covid-19, Bayu merasa tidak yakin sebagai alasan melakukan PSBB ketat. Menurutnya, hingga saat ini belum ditemukan varian baru tersebut ada di Indonesia. Bahkan, Lembaga Eijkman dan pusat-pusat penelitian lain masih terus melakukan kajian terhadap genome sequencing untuk melihat apakah kasus di sekitar November-Desember ada varian baru dari Inggris atau tidak.
“Jadi, untuk saat ini kita tidak bisa bilang varian baru SARS-COV-2 dari Inggris sebagai penyebab naiknya angka kasus di Indonesia,” ucapnya.
Untuk menekan tingginya angka penularan, kata Bayu, selain melakukan PSBB ketat sebaiknya ditingkatkan kemampuan tracing daerah yaitu kemampuan melakukan tes karena salah satu sumber untuk pengetesan adalah hasil contact tracing dari kasus. Dari upaya ini maka dapat dilihat apakah daerah sudah memenuhi standar WHO untuk minimum pengetesan yaitu 1 tes setiap 1.000 orang per minggu dan positivity rate di bawah 5 persen.
Selain itu, tanpa jemu-jemu untuk terus meningkatkan kedisiplinan masyarakat akan 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak). Upaya semacam ini perlu didukung pemerintah dengan cara memberikan edukasi dan contoh.
“Jangan masyarakat disuruh-suruh 3M dan tidak liburan keluar daerah, tetapi para pejabatnya tidak taat memakai masker atau bahkan liburan kemana mana,” paparnya.
Soal tingginya angka kematian akhir-akhir ini, menurut Bayu, bisa juga karena menular pada orang-orang dengan komorbid. Karena keterisian RS semakin tinggi sehingga banyak dari mereka telat mendapat perawatan.
Meski begitu, Bayu menyebut hingga saat ini belum ada data resmi yang dirilis seberapa besar. Pemerintah tidak pernah merilis secara resmi data detail seberapa persen yang meninggal dengan komorbid dan berapa yang tidak dengan komorbid dan lain-lain.
“Soal keterisian rumah sakit yang tinggi ini bikin susah, tapi bukan berarti tidak mungkin dan pemerintah seharusnya sudah memikirkan ke arah sana apabila RS semakin penuh apakah perlu membuat tenda darurat, menggunakan aula besar, karena semua perlu persiapan yang matang terkait alat dan SDM,” tuturnya.
Mengantisipasi agar tidak seperti fenomena liburan akkhir tahun, Bayu berharap pengetatan PSBB yang akan diberlakukan segera pelaksanaannya dilakukan dengan kerja sama dengan pemilik rumah makan, toko, mall dan lain-lain. Jika perlu untuk restoran dan lain-lain diberlakukan jika lebih dari 50 persen tidak terima tamu atau harus dengan reservasi dahulu.
“Jika perlu denda untuk pelanggar 3 M ini bisa juga jadi alternatif tapi perlu SOP yang jelas. Tapi yang paling penting kerja sama yang baik antara pemerintah, swasta, pengusaha, universitas, masyarakat dan komunitas,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : CNN Indonesia