Universitas Gadjah Mada memiliki pengalaman yang beragam dalam merespons kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Penanganan kasus Agni di tahun 2018-2019, memberikan pembelajaran dan pengalaman berharga bagi UGM dalam menangani kasus kekerasan seksual yang menimpa sivitas akademika UGM. Agar kasus serupa tidak terulang, UGM mengeluarkan peraturan Rektor tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual oleh Masyarakat UGM yang dituangkan dalam Peraturan Rektor No 1 tahun 2020. Peraturan ini diharapkan sebagai upaya pencegahan dan tindakan penanganan kasus kekerasan seksual bisa dilakukan lebih cepat baik terhadap korban maupun pelaku. Dalam Peraturan Rektor ini mengatur soal pencegahan, pelayanan dan penanganan pelaku kekerasan seksual.
Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia dan Aset UGM, Prof. Bambang Kironoto, mengatakan ada unit layanan terpadu yang bertugas dan bertanggung jawab untuk mengurusi upaya pencegahan dan penanganan setiap kasus kekerasan seksual. Setiap ada kasus yang menimpa warga UGM akan terpantau dengan baik. Sebab, menurut Bambang, umumnya para penyintas enggan melaporkan kasus yang menimpanya. “Para penyintas ini agak tidak leluasa melaporkan kekerasan seksual sehingga nanti ada petugas yang sudah mendapat pelatihan dengan baik untuk mendampingi para penyintas,” kata Bambang dalam Pelatihan Penanganan Kekerasan Seksual dalam Memperkuat Sistem Pelayanan Terpadu UGM, Selasa (12/1).
Selanjutnya apabila ada pelaporan maka tim dari unit layanan terpadu ini akan melakukan pendampingan dan konseling terhadap korban. Sementara pelaku akan mendapat sanksi dari tim etik baik di tingkat fakultas maupun universitas. Adanya unit layanan terpadu ini, kata Bambang, diharapkan penanganan kasus kekerasan seksual bisa diselesaikan dengan baik dan pelaku mendapat sanksi yang setimpal. “Warga UGM, mahasiswa, dosen maupun tenaga pendidikan seandainya terjadi hal yang tidak diinginkan, penanganan bisa lebih cepat, korban terlindungi, upaya konseling dan pendampingan selanjutnya,” katanya.
Bambang menjelaskan dengan adanya peraturan ini diharapkan nantinya akan mampu meminimalkan kasus kekerasan seksual yang menimpa warga UGM baik sebagai korban maupun sebagai pelaku. ”Kita ingin zero tolerance kekerasan seksual. Jika ada pelaporan semua kasus bisa terdata di ULT ini,” ujarnya.
Untuk pemberian sanksi kepada pelaku nantinya pimpinan universitas membentuk semacam tim etik baik di tingkat universitas maupun fakultas. “Jika kejadian (pelaku dan penyintas) di fakultas maka diselesaikan tim etik di fakultas, misal kejadian antar fakultas maka tim etik di tingkat universitas,”katanya.
Dekan Fakultas Ilmu Budaya sekaligus anggota tim penyusun Peraturan Rektor tentang Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di lingkungan UGM, Dr. Wening Udasmoro, mengatakan Peraturan Rektor ini bisa menjadi rujukan dalam penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Menurutnya, peraturan ini merupakan peraturan pertama yang pernah dikeluarkan perguruan tinggi soal penanganan kekerasan seksual. “Ini peraturan pertama yang pernah dikeluarkan oleh perguruan tinggi soal penanganan kekerasan seksual,” katanya.
Ia menilai kekerasan seksual di lingkungan kampus semakin meningkat apabila tidak ditangani dengan baik. Kasus kekerasan seksual umumnya terjadi antara dosen dengan mahasiswa maupun antar mahasiswa sendiri. “Kita tidak bisa menutup mata bahwa kekerasan seksual itu semakin meningkat. Kita ingin agar penyintas mau melaporkan, jika itu terjadi maka sudah menjadi tanggung jawab kita,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson