Penanganan bencana di era pendemi saat ini menjadikan tantangannya kian berlipat. Penanganan memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang jauh berlipat dibanding kondisi bencana di masa tidak pandemi Covid-19.
Demikian tarikan kesimpulan dua pembicara Dr. Joko Murdiyanto, Sp.An, Alumnus FK-KMK UGM dari MMR, Muhammadiyah Disaster MC dan Apt. Gde Yulian Yogadhita, M.Epid, Konsultan Divisi MBK PKMK FK-KMK UGM saat menjadi pembicara live report Pengelolaan Bencana Alam di Masa Pandemi (Bencana non-Alam) yang diselenggarakan Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK-KMK UGM dan Raisa Radio, Rabu (21/1).
“Pengalaman gempa di Bantul, Banjir di Jakarta, Gempa di Padang, kemudian di Palu sampai saya pernah di Jalur Gaza, itu sangat-sangat berbeda karena ada dua kondisi yang sangat tidak mudah untuk pengendalian pengelolaan di lapangan,” ujar Joko Murdiyanto.
Mengamati kondisi lapangan pada gempa di Sulawesi Barat, Joko menuturkan bencana yang terjadi di Indonesia saat ini lebih rentan karena ada dua ancaman. Hal ini menjadikan kapasitas yang dimiliki tentu akan sangat turun karena dua ancaman yang dihadapi, pertama ancaman dari segi bencana gempa bumi ditambah dengan Covid-19 ini.
“Kemarin saat rapat koordinasi di Pusat Krisis di Pusat Koordinasi Klaster Kesehatan yang dipimpin Kepala Pusat Krisis sudah disampaikan sebelum gempa saja Gugus Tugas Penanggulangan Covid-19 di Sulawesi Barat itu tidak efektif berjalannya. Apalagi pada situasi gempa saat ini,” ucapnya.
Ia mencontohkan di sebuah tenda yang tingginya tidak sampai 2 meter kemudian dihuni sekitar 15 KK dengan jumlah sekitar 50 orang. Jika kondisi itu dihitung sesuai standar WHO dengan positive rate ada 5 maka jumlah yang positif sudah bisa dikira-kira. Kondisi tenda seperti itu jika merunut definisi revisi 5 Penanggulangan Covid-19 sudah tidak kontak fisik lagi tetapi sudah kontak sangat-sangat erat dan itu harus hati-hati betul.
Belum lagi soal penanganan gempa bumi yang tidak mudah, sebab ada titik-titik yang sampai dengan hari kelima dan keenam belum tertangani karena merupakan daerah terpencil. Daerah yang untuk mencapainya harus memakan waktu 8 jam, bahkan ada yang hingga 24 jam.
“Kalau kita baca di penanggulangan bencana maka ada 5 pihak (penta helixs) yang terlibat, yaitu ada pemerintah, masyarakat, perguruan tinggi, dunia usaha dan media. Kelima ini diharapkan terus melakukan koordinasi, kerja sama dan kolaborasi yang sangat bagus, meskipun ini juga tidak mudah di lapangan,” terangnya.
Dari beberapa kejadian bencana, Joko menjelaskan relawan yang terlibat dalam penanganan bencana adalah orang-orang yang luar biasa. Dalam kondisi kerja ekstra para relawan inibselalu kurang tidur dan makan dengan gizi yang seadanya.
Melihat penanganan bencana yang ganda di Sulbar ini, ia menyarankan para relawan agar betul-betul menjaga kesehatan fisiknya. Karena dengan kurang tidur dan kurang gizi sangat berpotensi terkena paparan Covid-19.
“Yang pengen saya tegaskan disini adalah masalah istirahat. Di beberapa laporan paparan Covid-19, salah satu yang menjadi faktor adalah kurangnya istirahat, maka di Puskor kami mohon relawan untuk menjaga kondisi tubuhnya. Silakan jam 22.00 harus sudah istirahat, jangan sampai tidur jam 01.00, bangun jam 05.00, ini berpotensi bisa terjadi penularan, sementara kita tidak tahu persis peta di lapangan seberapa jauh tingkat penularannya,” imbuhnya.
Sempat berkeliling di puskesmas-puskesmas terutama yang di Mamuju, Gde Yulian menyatakan bencana gempa kali ini sunguh sangat berbeda, karena selain merespons bencana juga harus mempedulikan protokol kesehatan yang menjadikan penangangan sangat sulit sekali.
Ia mengakui memang terdapat titik-titik pengungsian, tetapi titik-titik pengunsian tersebut sangat berbeda dengan titik-titik pengungsian pada bencana-bencana sebelumnya. Menurutnya, titik titik pengungsian di Sulawesi Barat saat ini menjadikan tidak terkonsentrasi, dan terdapat banyak pengungsian kecil-kecil dan ini sangat menyulitkan tenaga dari teman-teman puskesmas.
“Mereka harus berkeliling ke titik-titik yang tidak besar tetapi juga tidak kecil dimana titik-titik pengungsian terdiri dari keluarga inti, dan ini tidak mudah karena ada keluarga-keluarga yang bergabung. Ini perlu diketahui karena menjadikan mobilitasnya tinggi. Itu yang terjadi di lapangan sehingga agak kesulitan membantu tenaga puskesmas untuk melakukan skrining pada populasi terdampaknya,” ungkapnya.
Gde Yulian menuturkan melihat situasi di lapangan maka sangat diperlukan lebih banyak lagi tim-tim IMT mobile tipe 1. Meskipun mereka yang bergabung dalam tim ini harus menghadapi kenyataan yang berbeda karena tim IMT yang datang tidak bertemu dengan titik pengungsian besar dengan pasien yang besar, tetapi mereka harus menyisir titik-titik pengungsian yang jumlahnya banyak.
“Saya kira ini memerlukan waktu dan tenaga yang tidak sedikit dari tim-tim yang akan datang ke lokasi bencana, saya kira seperti itu perbedaan bencana di masa pandemi dengan bencana-bencana sebelumnya,” katanya.
Menurut Gde bencana yang terjadi di Indonesia di saat pandemi ini menjadi pelajaran yang berharga. Sebab, penanggulangan bencana di saat pandemi membuat self sustainability sangat penting sekali yaitu untuk berusaha menjaga alur dari pelayanan covid.
“Yang saya temukan di sini saat bencana terjadi kepanikan dan Satgas Covid-19 justru bubar. Jangankan Satgas Covid-19, sama seperti di gempa Palu dimana tenaga kesehatan maupun puskesmas malah mengungsi sementara, padahal di saat yang sama mereka ini justru menjadi kunci di dalam penanganan Covid-19. Sehingga apa yang terjadi di Sulbar adalah kesimpang siuran alur, pasien maupun informasi Covid-19 sehingga tim yang datang bingung,” tandasnya.
dr. Bella Dona, M.Kes menambahkan pada Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial sebenarnya sudah banyak mengeluarkan panduan untuk para relawan atau tenaga kesehatan dalam menangani situasi bencana di masa pandemi Covid-19. Dengen begitu, meskipun terjadi chaos di saat bencana, tetapi jika mau membaca buku panduan tersebut maka bisa melengkapi kesiapan para relawan dan tenaga kesehatan yang akan berangkat di medan bencana.
Ia sependapat bila penanganan bencana alam di era pandemi Covid-19 saat ini kondisinya jauh luar biasa dan memerlukan biaya yang jauh lebih tinggi, dan semua itu harus dipersiapkan lebih banyak. Sebagai contoh, di saat akan akan mengirim tim kesehatan, seperti tim kesehatan UGM maka banyak hal yang harus dipikirkan.
“Kalau biasanya bisa langsung berangkat, tapi kali ini relawan harus dipilah dulu karena bencana di tengah pandemi, dimana yang berangkat harus benar-benar sehat, usia lebih muda, harus diskrining lagi, sampai disana bagaimana strategi dalam pemeriksaan pasien, apakah haris melakukan skrining, dan tenaga kesehatan ini sekian hari harus cek lagi kondisinya dengan anti-gen, swab. Ini kan jadi ganda untuk penanganan, harapan saya untuk semua tim relawan akan berangkat benar-benar mempersiapkan,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : BBC.com