Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM, Prof. dr. Moh. Hakimi, Sp.OG(K)., Ph.D, menerangkan perbedaan antara efikasi dan efektivitas vaksin.
Efikasi atau daya guna, terangnya, adalah hasil yang didapat dalam pengujian, pada kondisi yang ideal di mana semua faktor dikendalikan. Sementara efektivitas dilihat dari penerapan vaksin dalam kondisi nyata ketika program vaksinasi diterapkan kepada masyarakat sehingga angka efektivitas vaksin akan lebih rendah dari efikasinya.
“Dalam uji klinis tentang vaksin dosisnya tepat, penyimpanan terjamin, dan ketaatan pasien juga terjaga sehingga kondisinya ideal. Kalau sudah menjadi program ceritanya bisa lain, kalau vaksin dibawa ke puskesmas misalnya, dengan cara pemberian tidak standar akibatnya hasil guna menjadi berkurang,” terangnya, Rabu (20/1).
Lebih lanjut ia menerangkan, efikasi dapat dihitung dari angka kejadian dari kelompok yang tidak diberi vaksin dikurangi angka kejadian dari kelompok yang diberi vaksin, dibagi angka kejadian dari yang tidak diberi vaksin.
“Jadi, yang tidak diberi vaksin itu sebagai pembanding, sebagai refference category,” imbuhnya.
Hal ini ia sampaikan dalam acara Raboan Online CBMH FK-KMK UGM yang membahas tema “Covid-19 Vaccine: Ethics and Infectious Disease”. Ia memaparkan model health belief bahwa kesediaan seseorang dilibatkan dalam kegiatan promosi kesehatan dipengaruhi di antaranya oleh persepsi keseriusan masalah yang dihadapi, persepsi kerentanan, persepsi manfaat dan hambatan, dan persepsi ancaman.
Hal tersebut juga dipengaruhi oleh modiying variable yang terdiri dari variabel demografi seperti kelas sosial, gender, dan usia, serta karakteristik psikologis seperti kepribadian dan peer group pressure.
Berkaitan dengan program vaksinasi, salah satu strategi yang menurutnya perlu dilakukan adalah memberikan penjelasan terkait keseriusan dari Covid-19 dan dampaknya, serta manfaat yang didapatkan dengan vaksinasi.
“Orang akan mau divaksin kalau dia bisa melihat bahwa manfaatnya itu besar,” kata Hakimi.
Ia menambahkan bahwa saat ini banyak beredar informasi palsu atau hoaks, yang jika tidak disikapi secara hati-hati dapat memengaruhi persepsi masyarakat. Karena itu misinformasi yang muncul perlu segera dikoreksi.
Dalam kesempatan ini, ia memberikan paparan terkait bioetika penyakit infeksi. Dalam praktik kedokteran klinik pasien dilihat sebagai korban, tapi dalam perpektif penyakit menular pasien tidak hanya menjadi korban tetapi juga vektor yang dapat menularkan penyakit ke orang lain.
“Jadi, ada kewajiban moral pasien penderita penyakit infeksi terhadap orang lain,” katanya.
Yang dibutuhkan, menurutnya, adalah menjembatani kesenjangan antara bioetika dan kesehatan masyarakat tradisional. Dalam tataran praktik, perlu perhatian lebih banyak dalam aspek kerahasiaan dan privasi, informed consent, serta paternalisme.
Penulis: Gloria