Seri bincang-bincang UGM Update #DIRUMAHAJA kembali hadir pada Kamis (21/1). Dengan topik “Ngobrol Seputar Vaksin”, bincang-bincang kali ini mengundang dr. Astari Pranindya Sari, M.Sc., Sp.P., Dokter Spesialis Paru RSA UGM. Bincang-bincang ini disiarkan secara langsung melalui berbagai platform media sosial UGM dan jalannya acara secara lengkap bisa disimak pada kanal Youtube UGM di sini.
Dalam acara tersebut, Astari menjelaskan pentingnya vaksin dalam penanganan dan penanggulangan penyebaran virus Covid-19. Menurutnya, terdapat dua alasan kenapa menjadi penting. Pertama, fakta bahwa kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat dengan jumlah kasus positif tercatat lebih dari 900 ribu. Hal itu juga didukung dengan fakta-fakta lain, seperti persentase mortalitas dan positivity rate di Indonesia yang melebihi standar rata-rata di dunia.
Kedua, kondisi kenaikan ini, baik kasus positif dan mortalitas, terjadi bukan tanpa obat. Meskipun obat bagi pasien positif sudah banyak di Indonesia, tetapi mortalitas pasien tetap saja naik. Dari hal tesebut, Astari menyebut pihaknya memutuskan untuk kembali ke prinsip awal, yakni ‘mencegah lebih baik daripada mengobat’. Dari pencegahan itulah posisi vaksin menjadi penting, tentunya hal itu diiringi dengan upaya pencegahan lain, seperti 3M dan 3T.
“Kesemuanya berkesinambungan dan tidak bisa berdiri sendiri,” terangnya.
Terkait adanya penolakan dan protes dari beberapa masyarakat terkait vaksin, Astari mengungkapkan keprihatinannya. Ia menyebut vaksin itu bisa eksis dan didistribusikan sampai sekarang itu perjalanannya panjang. Dari uji laboratorium dengan objek hewan, kemudian berlanjut ke uji klinis yang terbagi ke dalam tiga fase, hingga terakhir keluarlah persentase efikasi.
Astari menyebut efikasi itu ada syaratnya juga. Dari WHO, syarat efikasi untuk vaksin ini minimal 50 persen dan harus melewati minimal sampai uji klinis fase ketiga. Dan seperti yang kita tahu, uji klinis yang dipimpin oleh Prof. Kusnadi Rusmil di Bandung, mencapai angka 65,3 persen. Angka tersebut lebih tinggi dari syarat WHO karena itu dapat perizinan EUA dari BPOM.
“Dari proses tersebut, saya harap masyarakat paham bahwa ini berangkat dari usaha untuk pencegahan dan dilakukan dengan sangat serius. Mungkin ada masyarakat yang berpendapat bisa membangun antibodi dengan terkena virus dahulu. Namun, ini dari segi kedokteran tidaklah etis karena sudah ada upaya pembuatan vaksin. Selain itu, prosesnya juga membahayakan. Oleh karenanya, kita berharap masyarakat dapat menerima dan mendukung vaksin ini,” ujarnya.
Kemudian, terkait pemilihan Sinovac dibanding lainnya, Astari menyebut karena vaksin tersebut lebih stabil. Ia menyebut secara prinsip sebenarnya kurang lebih sama karena yang disasar adalah pembentukan antibodi terhadap Protein S pada virus. Namun, untuk Sinovac prosesnya dengan menggunakan inactivated virus atau virus yang telah dimatikan. Sementara untuk lainnya, seperti Pfrizer dan Moderna yang memodifikasi mRNA virus tanpa mematikannya lebih tidak stabil, walaupun efikasinya lebih tinggi.
“Ketidakstabilan itu merujuk pada untuk menyimpan vaksin diperlukan suhu minus sekian. Kemudian meneruskan informasi dari BPOM, di Amerika ada kasus penggunaan vaksin ini menyebkan Serious Adverse Event atau situasi fatal terhadap pasien. Sementara untuk Sinovac yang telah melewati uji klinis fase 3 di Indonesia belum pernah menemui kasus serupa,” ungkapnya.
Terakhir, mengenai kemungkinan mutasi virus berdampak pada efektivitas vaksin, Astari berpesan agar masyarakat tidak perlu khawatir. Hal itu karena informasi terhadap mutasi selama ini masih minim dan tidak jelas mutasi tersebut terjadi pada bagian virus yang mana.
“Vaksin yang ada sekarang bekerja untuk memblok Protein S yang bentuk dan beroperasinya seperti tangan dari virus tersebut. Selama mutasi yang terjadi tidak pada tangan tersebut, semisal pada badannya maka antibodi dari vaksin tetap bisa membloknya,” pungkasnya.
Penulis: Hakam