Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Gigi, Fakultas Farmasi UGM dan One Health Coordinator Center (OHCC) menyelenggarakan kegiatan: “2021 Winter Course on Interprofessional Education – One Health: Diseases of Tomorrow”, pada: 25 Januari – 5 Februari 2021 secara daring. Acara ini diikuti lebih dari 150 calon profesional kesehatan termasuk dari luar negeri. Kegiatan yang berfokus pada isu kesehatan dengan keterlibatan manusia, hewan dan lingkungan ini secara umum bertujuan mempersiapkan calon profesional kesehatan agar mampu mengidentifikasi masalah kesehatan dari lintas bidang keilmuan di komunitas secara aktif.
Dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa (26/1), Dekan FKKMK, Prof. Ova Emilia, mengatakan kegiatan ini diharapkan bisa meningkatkan kerja sama antar calon profesional kesehatan dalam kolaborasi multikultural serta meningkatkan paparan kontekstual nasional dan internasional serta kompetensi yang dibutuhkan oleh calon profesional kesehatan dari para narasumber one health dari universitas mitra dalam dan luar negeri.
Ia menyebutkan beberapa lembaga dan universitas mitra yang terlibat diantaranya Indonesia One Health University Network (INDOHUN), Thailand One Health University Network (THOHUN), Southeast Asia One Health University (SEAOHUN), University Sains Malaysia, University of Sydney, dan Central Mindanao University Filipina.
Koordinator kegiatan, dr. Gunadi, Ph.D., Sp.BA., mengatakan isu utama yang dibahas dalam winter course kali ini adalah konsep one health sebagai interkoneksi lintas sektoral kesehatan dalam mengatasi ancaman pandemi di masa mendatang. Menurutnya, kerusakan yang disertai dengan perubahan iklim serta lingkungan ini mengakibatkan munculnya penyakit menular dan tidak menular. Ia menyebutkan sebagian besar wabah penyakit sekarang ini ditimbulkan dari gangguan manajemen kesehatan masyarakat, termasuk sanitasi dan kebersihan, imunisasi, serta pengendalian penyakit yang ditularkan melalui vektor dan zoonosis. “Zoonosis merupakan penyakit yang secara alamiah ditularkan dari hewan ke manusia maupun sebaliknya. Zoonosis menduduki 60 persen dari total penyakit infeksius yang telah teridentifikasi dan 75 persen dari penyakit infeksius baru yang telah dilaporkan,” katanya.
Penyakit seperti Hendra, Nipah, flu burung, severe acquired respiratory syndrome (SARS), dan yang saat ini masih menjangkit secara global, yaitu COVID-19, merupakan penyakit zoonosis telah menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar pada 20 tahun terakhir. Meski bermunculan penyakit zoonosis baru, namun menurutnya penggunaan produk antimikroba di bidang kesehatan manusia dan hewan harus lebih selektif dan efisien. Sebab, keberadaan antimikroba menjadi sangat meluas, bahkan residunya dapat ditemukan di zat buangan rumah sakit dan peternakan yang kemudian dapat mencemari lingkungan. “Interaksi antara mikroba dengan antimikroba dalam konsentrasi yang rendah dapat memicu timbulnya resistensi antimikroba,” ujarnya.
Apabila suatu penyakit menjadi resisten terhadap suatu kelompok anti mikroba maka pengobatan standar menjadi tidak efektif, bahkan menjadi tidak dapat diobati. Hal ini menurutnya dapat meningkatkan derajat keparahan suatu penyakit, bahkan berujung pada kematian. “Jika hal ini terus berlangsung, diperkirakan pada tahun 2050 akan terjadi peningkatan kematian hingga 10 juta jiwa akibat infeksi patogen resisten antimikroba. Melalui konsep one health, (calon) tenaga kesehatan, ahli terkait dan masyarakat diajak untuk bisa memahami, mengantisipasi, dan menyiapkan tata laksana pandemi,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto : Shutterstock