Peneguhan diagnosa Covid-19 saat ini masyarakat disuguhkan oleh tiga alat deteksi cepat yakni swab PCR, rapid antigen dan rapid antibodi. Ketiganya bisa dianggap mampu mendeteksi seseorang terpapar Covid-19 atau tidak. Namun, swab PCR sampai saat ini dianggap paling mendekati akurat. Sebab, antigen virus bisa dideteksi setelah beberapa hari setelah tertular. Sedangkan antibodi akan terbentuk setelah 7 atau 14 hari setelah terpapar.
Hal itu dikemukakan oleh dokter spesialis patologi klinik dari Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM dr. Titien Budhiaty, M.Sc., Sp.PK., dalam diskusi yang bertajuk Rapid Antibodi, rapid Antigen dan PCR apa bedanya?, Kamis (28/1).
Seperti diketahui, pemeriksaan lewat swab PCR dilakukan dengan mengambil sampel usap di hidung dan tenggorokan. Rapid antigen dilakukan dengan mengambil hasil usap di hidung. Sedangkan rapid antibodi dilakukan dengan mengambil darah si pasien.
Titien menjelaskan bahwa ketiga alat deteksi cepat Covid-19 ini sebenarnya bertujuan untuk mengetahui perjalanan penyakit Covid-19 yang masuk ke dalam tubuh seseorang. Meski demikian untuk memastikan tertular dan tidaknya, hasil deteksi lewat swab PCR dianggap paling menentukan. Sebab, lewat PCR bisa menentukan ada tidaknya virus, “Sementara dua alat deteksi lainnya lebih mengarah pada antigen virus dan terbentuknya antibodi,” katanya.
Namun begitu, pilihan untuk menggunakan alat deteksi lewat PCR untuk saat ini dirasakan biayanya cukup mahal untuk sekali pemeriksaan sehingga masih memberatkan sebagian masyarakat. Menurut Titien, jika merasa ada gejala dengan seperti demam, pilek atau batuk, tidak selalu mengarah pada gejala Covid-19 sehingga perlu dikonsultasikan ke dokter karena hampir banyak penyakit menimbulkan gejala yang hampir sama. “Perlu periksa ke dokter, arahnya ke mana, jika perlu ada faktor pendukung seperti pemeriksaan di lab,” ujarnya.
Namun, gejala paling umum ditemukan pada penderita Covid-19, menurut Titien, adalah munculnya flu, batuk, indera penciuman berkurang, diare atau badan terasa letih atau muncul sesak napas. “Namun, di penyakit lain juga ada seperti itu, yang penting tetap waspada, selalu berpikir yang baik-baik saja, jangan sampai stres,” katanya.
Penulis : Gusti Grehenson