American Studies Students & Alumni Association (ASSAA) Pascasarjana UGM menggelar seminar nasional bertajuk “Multucultural Society in Indonesia & America. Seminar berlangsung di lantai V Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, hari Selasa (11/9) dengan menghadirkan pembicara Prof HAR Tilaar MSc Ed, Michael H Anderson PhD, Prof Dr M Mochtar Mas’oed dan Dr Ida Rochani Adi SU.
Seminar yang didukung American Corner UGM ini, mendapat sambutan dari Pemerintah Propinsi DIY yang diwakili Kepala Dinas Kebudayaan, Drs Condroyono dan Ketua Pengelola Program Studi Pengkajian Amerika Sekolah Pascasarjana UGM, Prof Dr Sjafri Sairin yang sekaligus membuka acara seminar.
Dalam uraiannya, Prof Tilaar memaparkan sejarah panjang Amerika dalam membentuk masyarakat multikultural. Dalam keterangannya, Amerika sebagai negara pencetus demokrasi, ternyata membutuhkan waktu selama 250 tahun untuk membentuk masyarakat multikultural.
Sementara tentang nilai-nilai multikulturalisme normatif di Indonesia dikatakannya orang biasanya berbicara mengenai jati diri atau identitas bangsa Indonesia. Bahwa pada era Orde Baru, identitas bangsa itu antara lain diwujudkan melalui program-program penataran P4. Evaluasi terhadap program-program itu terdapat beberapa kegagalan, dikarenakan metodologi yang dipergunakan merupakan metodologi indoktrinasi.
“Metode itu tentunya bertentangan dengan paham demokrasi sebagaimana juga yang telah kita lihat di dalam pelaksanaannya dalam masyarakat Amerika di dalam menegakkan prinsip demokrasi, tetapi ternyata secara tidak sadar telah menggunakan metode otoriterisme dalam penggunaan nilai-nilai WASP,†ujar Guru Besar Emiritus UNJ ini.
Nilai-nilai Pancasila, kata Tilaar, perlu diterjemahkan di dalam nilai-nilai local atau nilai-nilai etnis dalam masyarakat Indonesia yang bhinneka. Ini merupakan tugas pendidikan nasional untuk mengarahkan nilai-nilai etnis kepada nilai-nilai nasional Pancasila.
“Sayang sekali di dalam kebijakan pendidikan nasional dewasa ini tidak lagi tercantum Pendidikan Pancasila untuk mencapai pendidikan multikultural yang normative,†tandas Prof Tilaar. (Humas UGM).