Kalau dulu mempersandingkan kata “bangsa†dan “negara†belum bisa terbayangkan bagaimana wujudnya. Namun, saat ini, dengan begitu mudahnya orang mengucapkan ungkapan “demi kehidupan berbangsa dan bernegara†seakan tiada soal diantara keduanya.
Bila menukik ke dalam sejarah, maka akan terasa bahwa “bangsa†dan “kebangsaanâ€, baik dalam dirinya sendiri maupun dalam hubungannya dengan “negaraâ€, ternyata terkandung banyak masalah. bahkan sekarang, begitu banyak daerah yang ingin melepaskan diri dari induknya, menjadi propinsi atau kabupaten baru, dan banyaknya permasalahan bangsa yang tak kunjung ada solusinya, terasakan bahwa keIndonesiaan kita memang perlu dirajut kembali.
Demikian pernyataan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X saat peluncuran bukunya “Merajut Kembali KeIndonesiaan Kitaâ€, Sabtu (15/3) di Auditorium Pascasarjana UGM.
Menurut Sri Sultan, masyarakat Indonesia masa kini, sesungguhnya bukan lagi konstruksi pluralisme tradisional suku, agama, atau ras, tetapi konstruksi neo-pluralisme. Artinya, struktur kemajemukan masyarakat saat ini tidak lagi bersifat massa, tetapi makin spesifik, terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil atau neo-tribal. Dengan demikian peta pluralisme menjadi demikian kompleks. sehingga membawa kepentingan yang menjadi semakin terfragmentasi.
“Keberagaman justru cenderung menyempit, mengkristal dalam kelompok, dan dimaknai sebatas prinsip, bahwa orang lain tidaklah lebih baik dari kelompoknya sendiri. Pendapat ini mempertegas pendapat Clifford Geertz tentang sulitnya melukiskan anatomi Indonesia, karena begitu kompleks dan serba multinya unsur yang bersenyawa,†ucapnya.
Sementara, rajutan historis dan ideologis dari pluralisme tidak tumbuh dengan baik, sehingga keIndonesiaan yang terbentuk pun belum sepenuhnya utuh. Meminjam istilah Max Lane, Indonesia adalah bangsa yang belum selesai.
“Atau, jika merujuk Benedict Anderson, bangsa Indonesia adalah sesuatu yang baru terbayang, imagined. Akibatnya, seperti yang tampil saat ini, bangsa Indonesia terkotak-kotak sehingga identitas keIndonesiaannya pun rapuh,†ungkap Sultan.
Politik identitas dalam format identitas suku, daerah dan agama, kata Sultan, mudah menguat, yang bisa dilihat misalnya, dalam istilah “putra daerahâ€. Bahkan tuntutan pemekaran daerah pun sering dipicu oleh menguatnya politik identitas.
“Jika hal tersebut tidak berhasil didayagunakan menjadi modal sosial, maka kemajemukan bangsa bukan saja tidak akan memberikan kontribusi apapun bagi pembentukan keIndonesiaan, tetapi juga dapat menjadi ancaman bagi stabilitas dan eksistensi Republik,†jelas Sultan.
Untuk itu, kata Sultan, agar hal tersebut tidak terjadi, dan sebaliknya, agar keragaman bangsa dapat memberikan kontribusi signifikan bagi konsolidasi keIndonesiaan, maka mimpi bersama tentang keIndonesiaan harus diciptakan. “Karena, menurut Daniel Dhakidae, tidak pernah bisa dikatakan suatu bangsa itu ‘lahir’, namun ‘hadir’ dalam sebuah proses ‘formasi’ sebagai suatu ‘histrical beingâ€, tandasnya.
Acara peluncuran diprakarsai oleh Pusat Studi Kebudayaan UGM dan dibuka oleh Rektor Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D. Sebagai tanda launching, sejumlah tamu undangan mendapat buku secara langsung dari Sri Sultan HB X, diantaranya Menteri Pemberdayaan Perempuan Dr. Meutia Hatta dan Rektor UGM. Bahkan beberapa tamu berkesempatan memberikan narasi dan pembahasan terhadap buku itu, Garin Nugroho, Surya Paloh, Prof Komarudin Hidayat, Prof Sutaryo, Maria Ulfah, Fransiscus Welirang serta Mira Lesmana.(Humas UGM)