Dalam memberikan pelayanan kesehatan terutama dalam penanganan Covid-19 saat ini, perawat memiliki beberapa peran yang sangat penting. Beberapa peran tersebut diantaranya sebagai caregiver yang merupakan peran utama dimana perawat terlibat aktif selama 24 jam dalam memberikan asuhan keperawatan di tatanan layanan klinis seperti di rumah sakit.
Selain itu, perawat juga mempunyai peran sebagai edukator yaitu berperan sebagai tim pendidik yang memberikan edukasi kepada pasien, keluarga dan masyarakat. Hampir semua perawat yang saat ini berkutat dan terlibat dalam penanganan pasien Covid-19 telah mengorbankan apa yang menjadi kepentingan pribadi dan keluarganya. Bahkan sebagai bagian dari garda terdepan dalam menangani kasus Covid-19, tidak sedikit yang mengalami kelelahan baik secara fisik dan mental serta rentan tertular Covid-19.
dr. Fitriana, M.Sc., FM, Sekretaris Satgas Covid-19 UGM, mengatakan peran perawat sangat krusial karena seorang dokter tidak dapat bekerja sendiri tanpa peran seorang perawat. Dilihat dari sisi manajemen pelayanan, peran perawat lebih komprehensif karena memiliki kompetensi bagaimana mendekati pasien.
Menurutnya, seorang dokter adalah seorang validator dan eksekutor, ketika peran itu sudah dilakukan maka kelanjutan penanganan dilakukan para perawat. Terlebih pada penanganan kasus-kasus Covid-19.
“Begitu seseorang divonis covid pasti dari sisi psikologis turun, dan disinilah peran perawat menjadi sangat penting karena seorang dokter tidak akan melakukan pendampingan secara intensif pada pasien, sebab banyaknya tuntutan yang dihadapi dokter,” ucapnya, Senin (15/2) di GMC, Sekip.
Diakui atau tidak, kata Fitriana, seorang perawat memiliki kompetensi dan tahu bagaimana cara memberi semangat pada pasien yang divonis terpapar Covid-19. Karena memberi pelayanan yang cukup lama pada pasien, para perawat memiliki cara-cara pendekatan yang sangat lain.
Fitriana menyebut baik dokter maupun perawat sama-sama memiliki potensi tertular Covid-19 dari pasien. Meski begitu, katanya, perawat jauh lebih berisiko tertular karena tinggal lebih lama bersama pasien sebagai konsekuensi pelayanan yang ia berikan.
“Ibarat dokter ketemu pasien hanya di saat pemeriksaan dan pengusulan untuk pemeriksaan lebih lanjut, tetapi untuk penanganan berikutnya kan menjadi tugas perawat,” katanya.
Menurut Fitriana fisik selalu siap adalah kunci untuk melakukan pelayanan penanganan Covid-19 di GMC saat ini. Dalam kondisi serba terbatas bukan berarti harus menyerah, tetapi bagaimana pandai-pandai mengelola itu semua.
Ia memberi contoh misalnya dengan menambah perawat barupun belum tentu memudahkan persoalan. Sebab, tidak semua lulusan keperawatan tertarik pada persoalan atau pekerjaan terkait dengan klinis.
“Lulusan perawat memang banyak, sayang tidak banyak yang tertarik menjadi klinisi. Oleh karena itu, di tengah keterbatasan ini bagaimana kita tetap tangguh, tetap bisa melayani masyarakat karenanya secara fisik dan psikis harus kita jaga,” imbuhnya.
Andi Suryo Nugroho, AMK, koordinator lapangan Satgas Covid-19 UGM, menambahkan upaya GMC UGM di tengah keterbatasan dalam pelayanan Covid-19 adalah dengan pengaturan jadwal. Upaya mengurangi risiko adalah dengan memberlakukan wfo dan wfh, yaitu sehari masuk dan sehari istirahat guna mengantisipasi kelelahan.
Upaya lainnya setiap hari mendistribusikan vitamin, susu, buah dan makanan untuk tenaga medis. Semuanya yang bekerja di GMC UGM tidak diperbolehkan membeli makanan dari luar.
“Jadwal dan fasilitas seperti itu agar bekerja bisa fokus karena GMC ini melayani mahasiswa UGM yang berasal dari seluruh Indonesia,” ujarnya.
Ditambahkannya, GMC setiap harinya memberikan pelayanan untuk semua keluhan sakit. Gedung L2 untuk penyakit non infeksius (tidak ada gejala batuk, pilek, demam) dan Gedung L3 untuk penyakit infeksius.
“Tidak kurang setiap hari ada 300 pasien untuk semua keluhan. Untuk mahasiswa UGM sebelum ke fakutas, saat ini wajib memiliki surat sehat dari GMC. Jadi, mereka diskrining kesehatan disini dan GMC sebagai sentralnya,” ungkapnya.
Andi menambahkan untuk jadwal swab saja GMC setiap harinya melayani 15-25 mahasiswa. Jadwal swab tersebut berdasarkan dari hasil skrining dari dokter di GMC.
“Biasanya setelah assessment di dalam GMC mereka kemudian diarahkan untuk genose atau rapid antigen, jika reaktif maka dijadwalkan untuk swab. Sambil menunggu jadwal swab, mereka diminta untuk isolasi mandiri di Asrama Baciro, dan ini tidak terbatas untuk mahasiswa saja tapi juga untuk tenaga kependikan dan dosen,” ucapnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Kompas.com