Wakil Menteri Hukum dan HAM RI, Prof. Dr. Edward Omar Sharif, SH, M.Hum., mengatakan kebijakan penegakan hukum di masa darurat kesehatan sebaiknya berpegang pada teori pada peringkat pelanggaran paling ringan. Namun, kejahatan yang dilakukan di saat masa pandemi dianggap hal yang sangat merugikan. Oleh karena itu, pelaku kejahatan seharusnya dihukum seberat-beratnya.
“Dua mantan menteri terkena OTT KPK pada akhir 2020. Bagi saya kedua mantan menteri itu melakukan perbuatan korupsi, mereka layak dituntut dengan pasal pemberatan pada pidana mati. Menurut hemat saya, ada paling tidak alasan pemberat bagi kedua orang ini, mereka melakukan kejahatan dalam keadaan darurat dan melakukan itu dalam kondisi memegang jabatan,” kata Edi Hiariej dalam Seminar Nasional Telaah Kritis Arah Pembentukan dan Penegakan Hukum di Masa Pandemi yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM, Selasa (16/2).
Soal penerapan kebijakan hukum di masa pandemi, kata Edi, ia berpandangan sebaiknya dicari peringkat pelanggaran yang dianggap paling sedikit mendatangkan mudarat, diantaranya kebijakan merumahkan narapidana pada masa asimilasi dan pembebasan bersyarat dipercepat karena alasan kelebihan populasi di lapas. “Hampir dua kali lipat napi masih berada di luar (kamar) lapas dan 32 ribu masih ada di tahanan kepolisian, kejaksaan dan KPK,” katanya.
Kebijakan merumahkan narapidana pada masa asimilasi menurutnya tidak lepas dari risiko, sebab terjadi pengulangan kejahatan oleh mantan napi yang ternyata belum menyelesaikan proses asimilasi. Selain itu, ada kebijakan mempercepat masa persidangan pada terdakwa hampir habis masa penahanan. “Hingga sampai Juni tahun 2021 saya kira penegakan hukum pada kasus yang ditangani dan berjalan tidak akan berbeda dengan 2020 yang lalu. Masih melakukan secara virtual dalam penyidikan dan persidangan,” ujarnya.
Sementara Ketua Umum YLBHI, Asfinawati, S.H, mengritisi soal proses penegakan hukum bagi pelanggar protokol kesehatan yang ditahan oleh pihak kepolisian. “Ada beberapa orang ditahan karena tidak patuh imbauan PSBB. Padahal, PSBB belum mendapat izin dari Kemenkes saat itu,” katanya.
Selain itu, ia juga mengritisi diskriminasi penegakan hukum pada pelaku ujaran kebencian. Meski YLBHI mendukung adanya penegakan hukum bagi pelaku ujaran kebencian, namun ujaran kebencian yang dimaksud adalah soal siar kebencian terkait kebangsaan, agama dan ras. Namun, dalam praktiknya perilaku penghinaan, penistaan nama baik dimasukkan dalam kategori ujaran kebencian. “Siar kebencian berbeda dengan soal penistaan, penghinaan dan pencemaran nama baik,” katanya.
Menurutnya, pemerintah seharusnya tidak alergi dengan kritik dari masyarakat, sebab kritik menjadi bagian dari prinsip demokrasi. “Demokrasi tidak selesai dengan rakyat menggunakan hak memilihnya dari bilik suara tapi setelah itu ia berhak menyampaikan kritik ke pemerintah,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson