Pernyataan Presiden Joko Widodo yang berharap masyarakat memberikan kritik kepada pemerintah pada hari Pers Nasional mengundang berbagai pendapat di tengah masyarakat. Beberapa pendapat pun kemudian bermunculan atas pernyataan ini.
Meski didorong keinginan baik, tetapi masyarakat tetap saja merasa khawatir untuk melakukan karena dibayangi keberadaan Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ada pasal-pasal dalam UU tersebut yang dinilai sebagai pasal karet dan menjadi penyebab munculnya kriminalisasi.
Nyarwi Ahmad, Ph.D, pakar komunikasi Universitas Gadjah Mada, menilai terkait kritik ini masyarakat sebenarnya telah melakukan, dan kritik itu lebih banyak disampaikan melalui media sosial atau media elektronik/online. Sayangnya, keberadaan UU ITE menjadi momok karena beberapa pasal semisal pasal 27 ayat 3 atau pasal 28 ayat 1 dan 2 dianggap sebagai pasal karet.
Menurut Nyarwi, mestinya harus ada kejelasan soal batas-batas kebencian seperti apa, batas merugikan seperti apa, batas kebohongan seperti apa. Sebab, seringkali pasal-pasal ini menjadi pasal karet dan kemudian orang takut untuk melakukan kritik.
“Problemnya, sejauh mana pasal ini mendefinisikan soal kritik, apa bedanya kritik dan ujaran kebencian, apa bedanya kritik dengan menyebarkan kebohongan. Definisi operasional soal itu menurut saya penting untuk memudahkan orang paham, kritik itu sebenarnya apa sih,” ujarnya di Departemen Komunikasi Fisipol UGM, Rabu (17/2).
Jika pernyataan Presiden Joko Widodo yang disampaikan saat hari Pers Nasional kemudian mengarah pada upaya revisi UU ITE, menurut Nyarwi hal itu justru menjadi langkah baik. Sebab, secara spesifik bisa menghindarkan multitafsir terhadap arti pasal itu sendiri dan secara umum menghindarkan ketakutan-ketakutan masyarakat untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja presiden sebagai kepala negara dan kepada semua pimpinan lembaga.
Soal revisi sebagai pilihan terbaik atau tidak, kata Nyarwi, revisi memungkinkan saja karena undang-undang dibuat sesuai konteks semangat zamannya dan kebutuhan.
“UU ITE sendiri sudah pernah dilakukan revisi pada tahun 2015. Kominfo mengajukan revisi dan revisi sendiri dinilai cukup progresif saat itu, soal hukuman dari 6 tahun ke 4 tahun dan sebagai delik aduan tidak bisa langsung (tiba-tiba), harus ada pihak yang melapor atau paling tidak pihak yang dirugikan”,”ucapnya.
Menurut Nyarwi kritik dalam demokrasi penting, sebab dengan kritik bisa menyegarkan, memperbaiki dan memperbaharui kebijakan pemerintah agar sempurna dan maksimal dalam pelaksanaannya sehingga efektif. Oleh karena itu, memang diperlukan partisipasi berupa kritik dari masyarakat.
Hanya saja, yang perlu diperhatikan adalah iklim atau ekositem demokrasi yang bisa memunculkan kritik secara sehat dan disampaikan dengan cara-cara yang sehat. Sebab, jika tanpa argumen dan tanpa data langsung mencaci maki bukanlah sebagai kritik tetapi caci maki.
“Artinya sekali lagi definisi kritik dan bukan kritik perlu dievaluasi supaya tidak multitafsir dan harus diakomodasi dalam regulasi,” jelasnya.
Bagi Nyarwi, jika ekosistem dalam berdemokrasi dapat diciptakan baik dan sehat maka sebenarnya yang muncul dalam berbagai diskusi publik dan kritik yang muncul juga menyehatkan dan bisa meningkatkan kinerja pemerintah dan aparatur negara. Oleh karenanya, definisi kritik harus diklarifikasi dengan baik karena menyampaikan kritik sebagai kebebasan menyuarakan pendapat dijamin dalam UUD 1945 pasal 28.
“Sehingga mereka yang menyampaikan pendapat atau kritik benar-benar terlindungi. Bukan karena tidak ada regulasi yang jelas dan menjadi pasal karet apa saja kemudian bisa dilaporkan, dan kemudian ada celah dimultitafsirkan dan kemudian orang merasa terjadi pembungkaman, dan saya kira itu kurang menguntungkan,” terangnya.
Nyarwi berharap tumbuh budaya etika mengkritisi yang baik dan sehat. Pun dengan para elite diharapkan memiliki tradisi menerima atau mendengar kritik, sebab dengan kritik apa yang menjadi gagasan dan rencana kebijaksanaannya bisa dievaluasi dan diuji melalui kritik-kritik.
“Itulah bagaimana cara menguatkan cara berdemokrasi kita. Jika pernyataan ini sebagai pintu masuk revisi justru bisa sebagai sarana menjernihkan definisi kritik dan apa bedanya dengan penyebaran berita bohong, hasutan, ujaran kebencian dan lain-lain. Kritik kan hak masyarakat untuk menyuarakan dan dilindungi UUD 1945. Karenanya DPR harus membantu masyarakat untuk mengakomodasi suara-suara masyarakat dalam melakukan kritik dengan cara benar bukan cara yang sesat,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : merdeka.com