Pakar hidrologi UGM, Dr. Mohammad Pramono Hadi, M.Sc., menyebut upaya mengatasi banjir memerlukan pembiayaan yang relatif besar. Karena itu, upaya ini perlu dilakukan secara serius dengan melibatkan berbagai pihak termasuk masyarakat dan pihak swasta.
“Mitigasi banjir memerlukan upaya yang sungguh-sungguh dan terintegrasi,” ucapnya.
Ia menerangkan, mitigasi banjir dapat dilakukan dengan sejumlah cara, salah satunya dengan pembangunan infrastruktur pengendali banjir seperti tanggul sungai ataupun waduk, di samping upaya lain seperti penerapan early warning system dan pengembangkan soft skill masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana.
Salah satu faktor risiko bencana hidrologis, terangnya, adalah karakteristik tanah yang menentukan kemampuannya dalam meresap air hujan. Tanah pasir, misalnya, memiliki kemampuan penyerapan air yang lebih baik dibandingkan dengan tanah lempung. Karena itu, secara alamiah daerah tertentu dapat memiliki potensi banjir yang lebih tinggi dibanding daerah lainnya.
Meski demikian, kapasitas penyerapan air ini dapat berkurang, misalnya ketika di tanah tersebut dibangun pemukiman atau infrastruktur lainnya.
“Di Jogja banyak tanah pasir tetapi karena di atasnya ditutup pemukiman sehingga kedap air maka sama saja seperti lempung, ketika hujan tidak menyerap air tetapi menghasilkan runoff,” terangnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, banjir terjadi ketika zona timbunan tidak mampu lagi menimbun air yang jatuh sebagai hujan, sementara proses peresapan sudah maksimum. Karena itu, satu-satunya upaya untuk mengurangi banjir adalah dengan mewadahi lebihan air dengan tampungan-tampungan.
Dalam kasus banjir di Jakarta, ia menyebut bahwa potensi bencana hidrologis di daerah tersebut sebenarnya sudah diketahui sejak daerah tersebut masih dikenal dengan nama Batavia.
Pemerintahan Belanda saat itu, terangnya, telah mengenali potensi ini dan membangun lebih dari seribu waduk di daerah lereng.
“Tapi kita tahu ada proses alami seperti erosi, sedimentasi, sehingga waduk semakin lama semakin penuh dengan endapan dan akhirnya tidak dapat berfungsi menampung air. Banjir di Jakarta semakin parah karena fungsi proteksi yang dulu dibangun tidak ada gantinya bahkan sudah beralih fungsi,” kata Pramono.
Karena itu, diperlukan sejumlah upaya seperti revitalisasi bendungan yang dapat menahan air hujan agar tidak membanjiri kawasan pemukiman.
“Rekayasa engineering menjadi kunci ketika kawasan sudah terlalu padat dan terlalu mahal untuk memindahkan warga,” imbuhnya.
Mengingat sejumlah daerah di Indonesia kerap mengalami cuaca ekstrem berupa hujan lebat maupun kekeringan, idealnya kelebihan air dari musim penghujan dapat ditampung untuk digunakan di musim kemarau.
Meski demikian, menurutnya saat ini Indonesia belum siap untuk melakukan hal ini karena infrastruktur yang kurang memadai. Di samping mengupayakan mitigasi melalui pembangunan fisik, upaya lain yang dapat dilakukan adalah memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai risiko banjir dan longsor pada musim penghujan di daerah-daerah yang rawan.
Pemerintah menurutnya perlu menjalankan program edukasi secara sistemik sampai kepada aparat di tingkat terkecil seperti RT/RW.
“Harus diberi pemahaman sampai kepada dukuh ataupun RT, bahwa ketika terjadi hujan ekstrem itu bisa menyebabkan longsor dan banjir. Artinya pada kondisi hujan deras jangan sampai tertidur pulas, masyarakat harus waspada,” jelas Pramono.
Edukasi semacam ini, lanjutnya, memang memerlukan upaya yang besar, namun bisa jadi cukup efektif. Ia mencontohkan edukasi yang diberikan kepada warga di sekitar lereng Gunung Merapi, telah menjadi bagian dari muatan lokal di sekolah dan bahkan bagian dari budaya masyarakat.
Hal ini menurutnya tidak terlepas dari upaya kolektif masyarakat untuk bersama-sama mencegah bencana, melalui komunikasi dan upaya saling mengingatkan dari perangkat desa dan masyarakat.
“Ini kadang kita abai karena bencana hanya sesaat, di antara 365 hari dalam setahun hujannya hanya dua hari. Tapi edukasi benar-benar dibutuhkan, dan ini harus dilakukan secara kolektif oleh kelompok masyarakat, tidak bisa masing-masing individu,” katanya.
Penulis: Gloria