Para elite Papua terbentuk dari budaya politik Indonesia. Mereka banyak belajar di universitas-universitas di Indonesia, seperti di Makassar, Manado, Jogja, Semarang dan lain-lain. Bahkan, di beberapa belahan wilayah di Papua mereka menyekolahkan anak-anak semenjak dari tingkat SMA di Jawa hingga perguruan tinggi.
“Karakteriktik elite Papua ini sangat khas dari didikan politik Indonesia,” ujar Dr. I Ngurah Suryawan, antropolog dan pemerhati Papua, saat berbicara pada Diskusi Stop Baku Tipu: Pemekaran Daerah & Kelas Menengah Baru di Papua Barat, Senin malam (22/2).
Menurut Ngurah Suryawan politik kelas menengah Papua ini salah satu argumennya adalah bukan untuk mengurangi kekuasaan negara tetapi bagaimana mereka bisa mendapatkan kontrol langsung terhadap akses sumber daya. Hal ini menjadi catatan penting, sebab para elite dan kelas menengah tidak memiliki alat-alat produksi.
“Yang memiliki alat produksi dan kontrol terhadap akses pembangunan adalah para investor sehingga mereka tidak bisa mengontrol alat-alat produksi, tetapi mencoba mengontrol rente yang mereka peroleh dari proses-proses pemekaran daerahnya sendiri,” jelasnya.
Bagi Ngurah pemekaran bukan persoalan boleh atau tidak tetapi lebih pada regulasi. Tumpang tindih peraturan memungkinkan peluang itu ada.
Disebutnya, sebelum ramai soal pemekaran seperti saat ini, Irian Jaya pada saat itu sudah dibagi menjadi 3 wilayah yaitu Irian Jaya, Irian Jaya Bagian Barat dan Irian Jaya Bagian Tengah. Menurutnya, berhasilnya pembentukan Papua barat mendorong pemekaran Papua Barat Daya sejak tahun 2007. Dideklarasikan pada tanggal 15 Januari 2007, wilayahnya meliputi Kabupaten Sorong, Kota Sorong, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Teluk Bintuni (“Sorong Raya”).
Upaya para elite dan kelas menengah mendorong pemekaran ini dengan cara perekrutan pegawai birokrasi di masing-masing wilayah pemekaran harus mencerminkan suku-suku yang berada di wilayah Sorong Raya jika berkeinginan untuk pembentukan Propinsi Papua Barat Daya. Menurutnya, propinsi baru ini harus mendapat dukungan dari seluruh suku yang berada di Sorong Raya sehingga kuat birokrasi dan pemerintahannya.
“Para pegawai harus kuat dan berasal dari wilayah tempat mereka lahir sehingga kepentingan merekan akan terpenuhi. Caranya dengan mendidik birokrat-birokrat yang memang dipersiapkan untuk rencana pemekaran daerah-daerah baru di kawasan Sorong Raya. Anak-anak muda tersebut ditingkatkan kapasitasnya dengan melanjutkan pendidikan setingkat master hingga doktor di UGM dan Unpad,” terangnya.
Dalam diskusi kajian Anthropologi Seri #8 yang digelar Fakultas Ilmu Budaya UGM dan Asosiasi Anthropoli Indonesia DIY, Prof. Cahyo Pamungkas, Ph.D, dari LIPI selaku pembahas menambahkan yang menarik dari sejarah pemekaran di Papua adalah bahwa ide pemekaran sudah dimulai sejak tahun 1982. Pemekaran inipun dimanfaatkan para elite lokal di Papua untuk memperjuangkan kepentingannya, kelompoknya dan masyarakat adatnya sendiri.
Terkait maraknya keinginan pemekaran, Dewan Adat Papua sebenarnya tidak menolak terhadap modernitas, pembangunan dan pemekaran. Hanya saja, mereka menghendaki pemekaran dan pembangunan harus disesuaikan kebutuhan masyarakat Adat Papua.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : suaramambruk.com