Pemerintah telah menyepakati dan menetapkan perubahan cuti bersama di tahun 2021. Kesepakatan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri.
Pemangkasan cuti ini tertuang dalam SKB Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 281 Tahun 2021, Nomor 1 Tahun 2021, Nomor 1 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 642 Tahun 2020, Nomor 4 Tahun 2020, Nomor 4 tahun 2020 Tentang Hari libur Nasional dan Cuti Bersama tahun 2021.
dr. Riris Andono Ahmad, MPH., Ph.D, Epidemiolog UGM, sepakat dengan kebijakan pemerintah melakukan pemotongan cuti bersama dari tujuh hari menjadi hanya dua hari. Menurutnya, pemotongan cuti ini sebagai salah satu upaya mencegah melonjaknya kasus penularan Covid-19.
Berkaca pada libur panjang di hari besar tahun lalu (2020) maka terbaca pergerakan masyarakat berdampak pada melonjaknya kasus positif Covid-19. Dengan pemotongan cuti libur bersama maka akan membatasi pergerakkan orang.
“Berdasarkan pengalaman libur panjang itu meningkatkan kasus secara signifikan. Sejak Lebaran Juli 2020, Agustus 2020, kemudian Oktober dan Desember 2020 lonjakan-lonjakan kasus itu terjadi pasca libur, apakah itu libur cuti bersama atau libur hari besar nasional. Makanya di akhir tahun 2020, pemerintah kemudian memotong cutinya juga, jadi kebijakannya atas dasar itu,” katanya di Kampus UGM, Kamis (25/2).
Menurut Riris letak permasalahan sesungguhnya bukan pada memotong atau tidak libur cuti bersama, melainkan lebih pada persepsi masyarakat terhadap cuti itu sendiri. Karena kurang paham, mereka tidak mengerti bila cuti itu bukan berarti cuti dari mencegah transmisinya.
Bahkan, sebagian berpendapat dengan cuti boleh melakukan mobilitas lebih bebas dan bisa melakukan apa saja, seperti berkumpul-kumpul dalam kerumunan. Padahal, yang harus dipahami cuti itu berarti cuti dari bekerja, semisal yang bekerja dari rumah maka cuti itu tidak bekerja tetapi kemudian mengerjakan yang lain seperti hobi dan lain-lain di rumah.
“Kalaupun kemudian mau berwisata mestinya ya mencari tempat-tempat yang tidak besar kerumunannya atau tempat terbuka yang tidak besar kerumunannya. Tetapi sebaiknya tidak harus melakukan berkumpul, mengunjungi satu sama lain dan seterusnya,” katanya.
Riris berpendapat problemnya lebih ke mobilitas karena cuti bersama itu meningkatkan mobilitas yang sangat signifikan. Jika sudah seperti itu biasanya kecenderungannya berkumpul, ketemu orang dan kemudian perhatian terhadap 3 M menjadi turun dan tidak bisa diterapkan secara konsisten.
“Sama juga ketika orang melakukan olahraga bersepeda bersama, bersepedanya tidak masalah tapi begitu berhenti di suatu tempat, berkumpul, ngobrol itu yang menjadi masalah,” paparnya.
Menurutnya, libur membuat kecenderungan protokol kesehatan menjadi lebih sulit untuk dilakukan, dan bila kemungkinan memperpanjang waktu liburan maka akan memperpanjang kesulitan pula. Meski telah ada kebijakan pemangkasan masa libur, hal tersebut tidak menjamin mampu menekan angka penularan Covid-19.
Satu-satunya yang bisa menjamin menurunkan angka penularan adalah jika semua pihak bisa memastikan bahwa masyarakat tidak bergerak melakukan mobilitas. Misalnya pemerintah menemukan cara untuk memaksa orang tidak bergerak maka angka penularan Covid-19 dijamin akan mengalami penurunan.
“Jadi, jaminannya disitu bukan pada kebijakan. Kebijakan itu tidak bisa memberikan jaminan angka penularan akan bisa ditekan,” ucapnya.
Sekali lagi ia menandaskan bahwa peningkatan itu sangat tergantung dari dinamika interaksi sosial di sebuah populasi. Kasus-kasus di Jakarta dengan di Jogja dan di Kulon Progo akan jauh berbeda.
“Jadi, jumlah populasi penduduk, densitasnya, pola mobilitas, kepatuhan terhadap protokol, kemudian apakah banyak aktivitas di dalam ruangan atau tidak itu akan sangat berpengaruh,” tandasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : batam.tribunnews.com