Polri mulai menjalankan program virtual police yang bertugas mengawasi konten di dunia maya termasuk media sosial. Pakar Literasi Digital dari UGM, Dr. Novi Kurnia, melihat kehadiran virtual police merupakan upaya pihak kepolisian untuk memoderasi konten-konten negatif di dunia maya terutama yang mengarah pada pelanggaran pidana. Ia menilai aksi moderasi konten pada pengguna media sosial merupakan langkah baik.
Kendati begitu, kehadiran virtual police ini harus tetap memperhatikan sejumlah aspek dalam pelaksanaannya. Aspek yang dimaksud mulai dari posisi, proses, transparansi, perlindungan data diri, hak pengguna digital hingga kolaborasi moderasi konten.
“Virtual Police sebagai sebuah aksi memoderasi ini bagus. Namun, ada catatan-catatan yang harus dipertimbangkan seperti posisi untuk bisa menjaga netralitas, objektifitas, dan keadilan. Jangan terus interventif,” tegas pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM ini, Jumat (26/2).
Ia mengaku belum mengetahui secara detail bagaiman virtual police ini bekerja dalam menjalankan pengawasan konten di dunia maya. Namun, diharapkan nantinya virtual police dalam tugasnya bisa netral dan berpihak untuk kepentingan umum bukan industri, kelompok besar, maupun pemerintah.
Lalu, dalam proses pelacakan konten perlu disesuaikan dengan platform masing-masing media sosial. Penentuan sampel juga perlu diperhatikan apakah dengan sistem sampling atau sensus. Begitu pula dalam pelacakan akan dilakukan parsial atau pada seluruh konten.
Selanjutnya, terkait persoalan transparansi. Menurutnya, pihak kepolisian harus menyosialisasikan atau mengedukasi pengguna media tentang konten seperti apa yang dianggap sebagai konten negatif atau mengarah pada tindak pidana.
“Pengguna media wajib diberitahu konten seperti apa yang dianggap negatif,”tuturnya.
Perlindungan data diri pengguna media sosial disebutkan Novi juga menjadi poin penting yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan program pengawasan virtual police. Beberapa diantaranya seperti data apa saja yang bisa dibuka, bagaimana jaminan perlindungan, dan mitigasi terhadap kebocoran data pribadi.
Ia pun meminta kepolisian untuk tetap memperhatikan hak digital pengguna media sosial untuk menyuarakan aspirasi. Kehadiran virtual police diharapkan tak lantas mengekang masyarakat dalam menyampaikan pendapatnya di media sosial.
“Modelnya ini kan sistem peringatan, apakah dalam prosesnya mendapatkan hak baik sebelum dan sesudah dimonitor,” kata Koordinator Jaringan Pegiat Literasi Digital atau dikenal dengan Japelidi.
Terakhir yang tidak kalah penting yakni kolaborasi dalam melakukan moderasi konten di media sosial. Kolaborasi menjadi hal harus dilakukan bersama dengan para pakar terkait.
“Kolaborasi ini harus terus dibangun karena tidak hanya menjadi tanggung jawab virtual police saja. Namun, semua pihak seperti lembaga pendidikan, masyarakat sipil dan pegiat literasi digital perlu berkolaborasi dalam bagian peningkatan kompetensi literasi digital masyarakat Indonesia,”paparnya.
Penulis: Ika
Foto: Shutterstock.com