Cukup fenomenal gempa Bengkulu (12/9) lalu, di wilayah Mukomuko (Lubuk Pinang) yang berjarak 275 km dari episentrum, gempa merusak lebih 450 bangunan, namun di Kota Bengkulu yang berjarak lebih dekat episentrum, gempa merusak kurang lebih 110 bangunan
Tim Teknik Geologi FT UGM menilai terdapat faktor x yang mengakibatkan perbedaan kerusakan. Faktor x yang dimaksud adalah kondisi geologinya.
Dari peninjauan lapangan, 14-17 September 2007, Tim Teknik Geologi FT UGM memperkirakan kerusakan dan robohnya rumah-rumah disebabkan kondisi geologi/ tanah dan lahan setempat, ditambah kondisi kualitas bangunan. Seperti, di wilayah Kecamatan Lais, Kabupaten Bengkulu Utara dan wilayah kota Bengkulu, kerusakan bangunan diakibatkan tanah pasir halus – lempung pasiran yang bersifat lepas-lepas, yang merupakan tanah alluvium dan sebagian merupakan hasil pelapukan tingkat lanjut konglomerat. Sedangkan di Kabupaten Mukomuko, terutama di Kecamatan Lubuk Pinang, kerusakan bangunan diakibatkan tanah lempung hasil pengendapan sungai.
“Hasil pengamatan menunjukkan sebagian besar rumah rusak berada pada kondisi tanah seperti itu, terutama yang terletak di dekat lahan miring, atau dekat lembah sungai,†ujar Dr Ir Dwikorita Karnawati MSc, salah satu anggota tim, Rabu (19/9) di kampus UGM.
Tim yang juga beranggotakan Dr Ir Subagyo Pramumijoyo DEA, Thomas Triadi ST dan Najib ST ini menjelaskan, dengan kondisi tanah seperti itu, maka saat terjadi goncangan gempabumi tanah sensitif mengalami getaran dan diikuti munculnya retakan, kemudian tanah beserta rumah diatasnya cenderung terdorong kea rah lahan yang lebih rendah. “Hingga rumah tersebut rusak, roboh, seperti yang terjadi di Gedung Fisipol Universitas Bengkulu dan bangunan Ruko di jalan S. Parman 31 kota Bengkulu. Juga terjadi di rumah-rumah sepanjang jalan lintas barat Sumatra antara Tanjung Alai – Lubuk Pinang, Kabupaten Mukomuko,†tambah Dwikorita.
Lebih lanjut dijelaskan, kerusakan bangunan berupa retakan pada lantai, dinding dan sambungan antara dinding dan kolom umumnya terjadi di bekas retakan akibat gempa tahun 2000 lalu. Dinding dan sambungan tersebut kemudian ditambal.
“Kerusakan semacam ini misalnya karena telah mengalami puntiran akibat goncangan gempa, misal di Masjid Babussalam di kota Bengkulu dan di Madrasah Tsanawiyah Kecamatan Lais,†lanjutnya.
Selain itu, menurut Tim Geologi UGM gempa berakibat pada amblesan, retakan dan lonsor. Demikian fenomena likuifaksi di sisi timur sungai di Pasar Seblat Kecamatan Putri Hijau Kabupaten Mukomuko.
“Pun dengan gelombang pasang setinggi kurang lebih 2 meter yang menyapu pantai di desa Serangai kecamatan Batik Nau Kabupaten Mukomuko selatan,†lanjutnya lagi.
Untuk itu, kata Dwikorita, untuk mengantisipasi kerusakan bangunan di masa mendatang perlu identifikasi dan peta dalam bentuk peta mikrozonasi lahan rentan gempabumi. “Peta mikrozonasi ini perlu dibuat semi detail agar dapat dikenali zona yang sangat rentan hingga zona yang relatif aman terhadap goncangan gempabumi di masa mendatang,†tandasnya. (Humas UGM)