Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah, ditetapkan sebagai tersangka setelah terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat malam (26/2). Penangkapan inipun menimbulkan pertanyaan di tengah masyarakat, sebab sang gubernur sebelumnya pernah meraih banyak penghargaan membanggakan.
Tercatat, ia pernah meraih penghargaan diantaranya Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) di tahun 2017 dan penghargaan atas predikat kepatuhan terhadap standar pelayanan publik dari Ombudsman Republik Indonesia (ORI) 2017. Ia pernah pula meraih Tanda Bintang Jasa Utama Bidang Koperasi dan UKM dari Presiden Joko Widodo pada tahun 2016.
Muhammad Fatahillah Akbar, S.H., LL.M, pakar Hukum Pidana UGM, mengatakan seseorang yang mendapatkan kekuasaan tidak menjamin dirinya melakukan korupsi atau tidak. Ketika ada kekuasaan maka potensi korupsi cukup tinggi ketika diiringi berkurangnya akuntabilitas.
“Rumus sederhana dalam korupsi itu kan diskresi (kewenangan) ditambah monopoli, jadi kekuasaan yang kuat, yang menjadikan dia punya kewenangan, kewenangan diberikan penuh kepada dia dalam monopoli. Jadi, rumusnya D+M-akuntabilitas = corruption. Itu kan rumus awal korupsi, meskipun ada berbagai tindak pidana korupsi,” ujarnya, di Fakultas Hukum UGM, Senin (1/3).
Akbar menyebut kebijakan desentralisasi juga menimbulkan maraknya korupsi di daerah. Apalagi ketika UU 33 tahun 2004 menggantikan UU No 22 dan 25 tahun 1999, hal ini menjadikan kekuasaan yang dilimpahkan ke daerah menjadi cukup besar.
“Saya pernah meneliti yang dibiayai oleh UGM yaitu penelitian dosen muda tahun 2016 dan mencatat angka korupsi di daerah cukup tinggi karena kekuasaan akibat kurangnya akuntabilitas,” katanya.
Meski kemudian dikembangkan metode E-Procurement atau pengadaan secara elektronik serta diperkuatnya pengawasan oleh BPK – KPK sebagai upaya mengurangi. Hanya saja ketika kekuasaan diberikan dengan monopoli yang cukup kuat tanpa adanya akuntabitas maka pada akhirnya tetap meningkatkan tindak pidana korupsi.
“Karenanya salah satu upaya preventif adalah meningkatkan akuntabilitas. Jadi, saya rasa sekarang ini semuanya sudah online. Banyak daerah misal seperti Banyuwangi karena mencoba pengelolaan keuangan di daerahnya, pemasukan dan pengeluaran APBD diinformasikan melalui baliho yang cukup besar sehingga setiap orang bisa mengawasi,” ucapnya.
Menurut Akbar, pengelolaan anggaran secara online memang sebagai salah satu upaya preventif. Meski harus diakui di era desentralisasi dengan 34 propinsi dan lebih kurang 500 kabupaten/ kota dirasa tidak mudah untuk menciptakan sistem yang baik.
“Memang tidak mudah, jalannya panjang tetapi setidaknya bagaimana kita bisa meningkatkan akuntabilitas minimal di tingkat propinsi. Bagaimana 34 propinsi itu memiliki akuntabilitas, mereka harus share seluruh pemasukan dan pengeluarannya, prosedurnya dan segala macam,” katanya.
Menurut Akbar untuk menghadirkan efek jera tindak pidana korupsi maka UU Perampasan Aset menjadi kunci. Meski sudah ada UU KPK dan UU Korupsi tapi eksekusinya dinilai belum maksimal diterapkan.
“Kita belum memiliki UU Perampasan Aset. Pernah dibahas tapi tidak masuk dalam prolegnas. Sudah ada RUU-nya tetapi belum tahu kok belum menjadi prioritas kembali. Kedepan usulannya pengembalian uang ke negara itu wajib dan bisa melakukan penyitaan terhadap harta benda dari si pelaku,” terangnya.
Menurutnya, efek jera dengan pemiskinan sudah ada secara implisit dalam sanksi pidana korupsi yaitu pembayaran uang pengganti. Misalkan seseorang korupsi senilai 20 miliar rupiah maka ia harus mengembalikan 20 miliar. Sayangnya, ada kelemahan yang mestinya harus membayar 20 miliar, kemudian atau kalau tidak bisa membayar maka ia dipidana penjara selama 2 tahun penjara.
“Itu tadi ada penggantinya, ya akhirnya memilih dipenjara karena saat dipenjara nanti masih ada remisi dan sebagainya, dan uangnya tidak dikembalikan. Jadi, tidak murni memiskinkan karena masih bisa memilih uangnya atau penjara. Ini beda nantinya kalau ada UU Perampasan Aset,” katanya.
Akbar menandaskan menjaga integritas diri dari tindak pidana korupsi memang bukan persoalan mudah dan harus dibangun. Meski dengan sederet prestasi sebelumnya maka ketika mendapat kekuasaan tidak mudah untuk bisa menjaga diri dari tindak pidana korupsi.
“Jadi, kuncinya integritas, banyak hal-hal yang dibangun dan sebagainya dalam konteks menghindari korupsi. Itu saya rasa catatan bagi kita kedepan bagaimana sulitnya menjaga integritas tersebut dan itu tantangan bagaimana kita membangunnya,” tandasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : kompas.com