Di masa pandemi perusahaan pengembang kesehatan (healthtech) Indonesia semakin berkembang, baik dari segi pengguna, layanan maupun kolaborasi dengan berbagai pihak. Kendati demikian, belum berakhirnya pandemi disertai dengan kondisi ekonomi yang belum stabil menjadi tantangan yang dihadapi healthtech untuk berperan dan tetap memperluas layanannya menggunakan jalur nirlaba dan kemanusiaan.
Kondisi tersebut menjadi pokok bahasan dalam mini talk show yang diselengarakan Center for Digital Society (CfDS) berkolaborasi dengan Pusat Kedokteran Tropis, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada. Dalam acara bertajuk “Potensi dan Tantangan Healthtech untuk Program Nirlaba dan Kemanusiaan” yang berlangsung secara daring belum lama ini menghadirkan beberapa narasumber di bidang terkait. Beberapa diantaranya adalah Dr. drh Didik Budijanto, M.Kes (Direktur P2PTVZ), Dr. Gregorius Bimantoro (Asosiasi Healthtech Indonesia), Daniel Oscar Baskoro, S.kom., M.Sc. (Penggiat ICT), Dr. Suci Wulandari, MPH (Data Centre Specialist UNICEF Indonesia), Eddy Junarsin, PhD, CFP (Peneliti dan Dosen FEB UGM), Arry Lesmana Putra, S.P., M.Si. (UNDP Indonesia).
dr. Gregorius Bimantoro dari Asosiasi Healthtech Indonesia memaparkan kondisi startup kesehatan di Indonesia saat ini yang mengalami peningkatan jumlah startup. Banyak start up yang muncul di awal tahun 2020. Namun begitu, startup-startup perusahaan perintis kesehatan (healthtech) menghadapi persoalan terkait pendanaan.
“Survei yang kami lakukan pada member kami sekitar 70-85 persen startup masih dalam tahap belum memiliki pendanaan, mendanai sendiri atau sudah didanai, namun masih dalam jumlah yang kecil,” ungkapnya.
Ia menyebutkan masih sedikit startup di Asosiasi Healthtech Indonesia yang telah mendapatkan pendanaan dari investor besar. Hingga saat ini kurang dari 5 persen startup yang memperoleh pendanaan.
Dr. drh. Didik Budijanto, M.Kes., menyoroti terkait peluang bagi startup healthtech untuk dapat lebih berkembang dan berperan dalam program digitalisasi kesehatan negara. Menurutnya arah pembangunan kesehatan pemerintah Indonesia telah mengarah pada digitalisasi sebagai salah satu bentuk realisasi e-government. Pemerintah berkomitmen untuk terus memberikan dukungan infrastruktur seperti pemerataan jaringan internet dan membuka program kolaborasi.
Selain itu, tak kalah penting dukungan pendanaan yang dapat dimanfaatkan perusahaan pengembang kesehatan (healthtech). Upaya itu untuk meningkatkan efisiensi dan menjawab tantangan-tangan di dunia kesehatan demi kemaslahatan masyarakat.
Seperti diketahui pemerintah bersama mitra pembangunannya juga memiliki sejumlah program untuk digitalisasi dalam konteks kemanusiaan maupun program pemulihan sektor kesehatan di era pandemi. Salah satunya kerja sama dengan UNDP yang tidak hanya menjadi katalisator pemerintah, tetapi disertai dengan solusi secara teknis operasional salah satunya untuk pelaporan informasi data logistik kesehatan melalui website dan aplikasi SMILE.
Sementara itu, Ketua tim peneliti E-Malaria Pusat Kesehatan Tropis UGM, dr. Elsa Herdiana, menyampaikan jika tantangan dan peluang healthtech ini sangat berhubungan dengan apa yang sedang dipersiapkan oleh timnya yaitu uji coba regulatory sandbox sebagai payung regulasi sektor kesehatan digital Indonesia. Ia menuturkan dalam uji coba ini para startup peserta akan mendapatkan pendampingan program inovasi di bidang kesehatan oleh para ahli dari berbagai bidang terkait.
“Besar harapan para inovator kesehatan digital untuk dapat bergabung mengikuti uji coba, berkolaborasi pentahelix untuk mewujudkan Indonesia yang lebih sehat,”ucapnya.
Penulis: Ika
Foto: Wartaekonomi.co.id