Keberadaan buzzer kembali mengundang perdebatan di tengah masyarakat. Keberadaannya dianggap sudah usai seiring berakhirnya peristiwa politik dengan terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden. Apakah betul keberadaan buzzer harus seperti itu?
Wisnu Martha Adiputra, S.IP., M.Si, dosen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM sekaligus pakar komunikasi, mengatakan tidak bisa seperti itu. Buzzer tidak bisa dihentikan selama teknologinya masih memungkinkan. Apalagi, media sosial dan teknologi informasi semakin lama semakin canggih.
“Media baru kan semakin mudah, jadi akan sulit menghentikan karena akan terus ada itu,” katanya, di Kampus UGM, Kamis (4/3).
Ia tidak sependapat jika dikatakan buzzer sebagai sumber kekacauan selama ini. Menurutnya, problem utamanya adalah terletak pada pemahaman soal literasi digital.
Menurut Wisnu saat ini adalah era media sosial sehingga bagi negara-negara yang mengusung demokrasi pasti terkena imbasnya. Mirip buah simalakama ketika warga dibebaskan beropini, hal ini tentu berbeda dengan negara-negara otoriter, seperti Myanmar, Tiongkok dan lain-lain.
“Problemnya orang masih belum bisa membedakan mana disebut pendapat, mana disebut hoaks, ujaran kebencian dan menyerang. Ini buah dari keterbukaan, kok bisa dikatakan sumber kekisruhan, padahal buzzer ini terdiri dua pihak lho, pihak pro pemerintah dan kontra,” ucapnya.
Sayangnya, kata Wisnu, buzzer kadang hanya dilihat dari sisi pemerintah. Padahal, buzzer-buzzer yang kontra juga banyak, dan itu menandakan mereka melengkapi sistem demokrasi.
Untuk itu, kata Wisnu, membuat media sosial nyaman menjadi tantangan sekaligus tugas bersama. Dengan kata lain upaya meningkatkan literasi digital di masyarakat tidak hanya menjadi tugas pemerintah saja.
“Seperti di Departemen Ilmu Komunikasi UGM bersama dengan banyak peneliti dan dosen lain kampus dan organisasi-organisasi di masyarakat membuat Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi),” terangnya.
Tercatat tidak kurang 250 pegiat literasi digital dari sekitar 80 kampus bergabung di Japelidi. Komunitas ini cukup berperan meski masih sebatas di kampus-kampus sehingga gerakan ini terus didorong agar sampai ke seluruh lapisan masyarakat.
“Di luar itu ada juga gerakan di masyarakat semacam Mafindo yang anti hoaks dan siber kreasi yang ada di kelompok-kelompok masyarakat sipil,” jelasnya.
Terkait peran media, Wisnu menuturkan tantangannya saat ini adalah bagaimana menghadirkan informasi yang berkualitas dan fakta yang lebih independen. Sedangkan kondisi saat ini memperlihatkan media dimiliki hanya segelintir orang dengan kepentingan politik.
Kondisi ini menurutnya menjadi salah satu faktor penghambat demokrasi. Akan lebih baik jika kepemilikan media ini dibuka dan dipermudah dan tidak diperuntukan untuk orang-orang yang secara langsung terlihat di panggung politik.
“Kalau sekarang terlihat banget TV A, TV B itu dukung siapa, sebaiknya tidak begitu harus independen. Dia harus punya posisi dan harus dilindungi dan tidak boleh diserang. Nah, problemnya sekarang ini media kan juga diserang oleh buzzer, makanya buzzer ini harus mendapat literasi digital,” katanya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : rri.co.id